Cari uang dan hasilkan profit di internet
BELAJARLAH! SESUNGGUHNYA TIDAKLAH MANUSIA ITU DILAHIRKAN DALAM KEADAN PANDAI

Hubungan Agama dan Negara

>> Minggu, 21 Februari 2010

REFORMULASI HUBUNGAN AGAMA-NEGARA
Oleh Maman Kh.

Banyak umat Islam saat ini merindukan negara menerapkan syariat Islam. Diyakini bahwa tanpa penerapan syariat, Islam tereduksi hanya sebagai agama yang bersifat ritual dan individual; yang hanya identik dengan salat, puasa, penghormatan kepada orang lain, dan lain sebagainya. Diyakini pula bahwa penerapan syariat Islam oleh negara dapat mengatasi berbagai persoalan sosial-ekonomi yang semakin kompleks. Oleh karena itu, tuntutan itu lebih bersifat ideologis; bukan sekadar pelampiasan ketidakpuasan atau frustrasi akibat kesulitan ekonomi, seperti dituduhkan Hamid Basyaib, yang menyebutkan bahwa gejala fundamentalisme Islam sudah menjadi rebel without cause seperti fundamentalis-Kristen Amerika atau kaum skinhead di AS (Islamlib.com).

Negara Islam dan Equal Oportunity
Denny JA dalam mailing list Islam Liberal menyatakan keberatan atas penerapan syariat Islam oleh negara, sekaligus menyatakan perlunya negara sekular yang dibangun di atas landasan teologi Islam. Menurutnya, untuk negara heterogen seperti Indonesia, hanya negara nasional sekularlah yang paling tepat, karena warga negara berasal dari agama yang beragam. Karena mereka adalah warga dari negara yang sama, hak-hak sosial dan politik mereka—termasuk hak untuk duduk dalam jabatan politik, seperti presiden—pun sama. Artinya, semua warga negara, apapun agamanya, berhak mendirikan partai politik dan memperebutkan jabatan pemerintahan. Dengan sendirinya, negara Islam tidak mungkin sesuai dengan prinsip equal opportunity (persamaan dalam kesempatan) bagi semua warga negara. Dalam negara Islam, hukum Islam menjadi konstitusi negara. Non-Muslim mustahil menjadi pemimpin politik nasional. Artinya, orang non-Muslim hanya menjadi warga negara kelas dua. Oleh karena itu, negara demokrasi seperti di Barat, menurutnya, menjadi keharusan religius bagi pengaturan masyarakat yang heterogen. Hanya dalam kerangka demokrasi itu, equal opportunity bagi warga negara dilindungi.
Harapan adanya equal opportunity dalam sistem demokrasi sekular nyatanya hanyalah ilusi. Realitasnya, kita dapat menyaksikan perlakuan rasialis pemerintah AS terhadap suku Indian, Negro, dan kaum minoritas Islam. Begitu juga perlakuan diskriminatif Pemerintah Australia terhadap Suku Aborijin. Di AS, Domininasi politik dan ekonomi orang-orang kulit putih Kristen sangat menonjol; sangat sulit (mustahil) orang Muslim, Negro, atau Indian menjadi presiden atau menteri sekalipun. Dengan demikian, pernyataan equal opportunity dalam sistem demokrasi sekular sebenarnya lebih merupakan jargon politik. Dalam konteks ini, perlu dilihat secara empiris, bahwa nasib minoritas Muslim di negara-negara mayoritas non-Muslim selalu dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Nasib Muslim Patani di Burma, di Filipina, Thailand, India, dan di Semenanjung Balkan menunjukkan bahwa equal opportunity hanya sebagai propaganda politik.
Nurcholish Majid sering mengungkapkan, dalam sejarah politik umat Islam, kelompok minoritas non-Muslim seakan-akan berada dalam surga dan mendapat penghormatan sangat tinggi. Sebaliknya, ketika umat Islam terkalahkan di Spanyol, umat Islam diperlakukan hina dan disembelih secara massal. Padahal, ketika umat Islam berkuasa selama 8 abad, tercipta kondisi damai bagi minoritas non-Muslim; bukan hanya di Spanyol, tetapi juga di negara-negara Timur Tengah. Sampai sekarang, di negara-negara Timur Tengah masih ada sekitar 30 persen Kristen Koptik. Seandainya Islam secara konsepsional tidak memberikan hak hidup secara wajar kepada non-Muslim, mungkin tidak akan lahir orang seperti Butros-Butros Gali dan Tariq Aziz yang beragama Kristen Koptik.
Dalam Islam, memang benar bahwa warga non-Muslim tidak diperkenankan menjadi kepala negara atau menduduki jabatan hukum穰 (pemerintahan). Ini merupakan konsekuensi logis karena fungsi negara yang paling utama dalam Islam ialah menerapkan syariat Islam yang akan memberikan manfaat bagi seluruh manusia. Namun demikian, seluruh warga negara, termasuk non-Muslim, boleh menduduki jabatan non-hukum穰; seperti menjadi tentara (yang berperang di bawah bendera Daulah Khilafah), anggota majelis umat, pegawai administratif di berbagai departemen, menduduki jabatan Badan Usaha Milik Negara, menjadi pengusaha, dan lain sebagainya.

Formulasi Hubungan Islam dan Negara
Mereka yang tidak setuju dengan formalisasi syariat Islam oleh negara sering berargumentasi dengan pendapat ‘Ali ‘Abd ar-Raziq. Ar-Raziq menyatakan bahwa Muhammad hanyalah seorang pembawa risalah kebenaran, bukan seorang raja; Islam adalah sebuah agama, bukan sistem pemerintahan; Islam diturunkan untuk mensucikan hati nurani manusia; bukan untuk membangun negara. Dengan demikian, Islam tidak memiliki sistem politik tertentu yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslim. Persoalan politik adalah persoalan duniawi yang tidak boleh dicampurtangani agama. Leonard Binder dan Charles Kurzman menolak sistem politik dan sistem pemerintahan Islam dengan merujuk pendapat Ar-Raziq ini. Langkah keduanya banyak diikuti oleh mereka yang bersikap sama. Islam hanya boleh terlibat sebagai sumber moralitas (maksudnya sebagai prinsip perilaku baik) bagi aktor pemerintahan (bukan sistem pemerintahan) dan bagi dunia publik.
Merujuk pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw., pandangan tersebut berarti mereduksi ajaran Islam. Sebagaimana dimaklumi, Piagam Madinah diakui banyak pihak, termasuk Munawir Sadzali, sebagai konstitusi negara yang dibangun Muhammad saw. dan berlaku efektif di masyarakat. Jadi, Negara Madinah benar-benar ada dengan Muhammad sebagai kepala negaranya.
Munawir Sadzali mengakui ada dua prinsip dasar dalam Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan negara Madinah yang heterogen, yakni: (a) Kaum Muslim merupakan satu komunitas, meskipun berasal dari banyak suku; (b) Hubungan kaum Muslim dengan komunitas lain—yang menyetujui piagam tersebut—didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka yang teraniaya, saling menasihati, dan saling menghormati kebebasan beragama (Sadzali, 1993: 15-16).
Piagam Madinah memang secara eksplisit tidak menyebutkan Islam sebagai agama negara, tetapi semua kehidupan dibangun atas landasan akidah Islam. Kata ‘aq禔ah (akidah) Islam disebut delapan kali dalam konteks interaksi sosial sesama Muslim. Misalnya, dinyatakan: Bani ‘Auf, dengan tetap memegang teguh prinsip ‘aq禔ah, bahu-membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar tebusan warganya yang ditawan dengan cara yang baik dan adil. Pernyataan tersebut juga dinyatakan terhadap Kaum Muhajirin, Bani Al-Harits, Bani Saidah, Bani Jusyam, dsb.
Pasal 23 Piagam Madinah menyatakan: Bila kami berbeda pendapat dalam suatu hal, maka perkaranya diserahkan pada (ketentuan) Allah dan Muhammad.
Pasal 42 berbunyi: Suatu peristiwa atau perselisihan yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyetujui Piagam ini dan dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan bersama harus diselesaikan atas ajaran Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Allah akan memperhatikan isi perjanjian yang paling dapat memberikan perlindungan dan kebajikan. Pernyataan ini tampak merupakan konsekuensi dari pelaksanaan ayat berikut :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُول
Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Hal itu sedemikian jelas sehingga para ahli sejarah mencatat, bahwa begitu datang ke Madinah, Muhammad membangun Negara Madinah dengan landasan akidah Islam, sekalipun ayat-ayat tasyrî‘ (hukum) belum sepenuhnya diturunkan. Ketika ayat-ayat hukum, diturunkan, Muhammad langsung menerapkannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dengan demikian, formulasi hubungan Islam dan negara pada intinya ialah sebagai berikut:
Negara harus dibangun di atas landasan akidah Islam. Akidah Islam harus menjadi dasar hubungan antar manusia, dasar untuk menghilangkan kezaliman, dasar untuk mengatasi perselisihan, serta dasar sistem pemerintahan dan kekuasaan. Hukum yang diterapkan ialah hukum Islam yang memancar dari akidah Islam. Hukum Islam—yang digali dari al-Quran, Hadis Nabi , Ijma Sahabat, dan Qiyas melalui proses ijtihad syar‘_ oleh para mujtahid—harus menjadi hukum positif yang berlaku efektif bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, seperti tampak dalam Piagam Madinah.
Bentuk dan struktur negara harus mengacu pada sumber di atas. Sebagai contoh, dalam Pasal 2 Piagam Madinah disebutkan: Kaum Muslim adalah umat yang bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain. (Sadzali, 1993: 10). Dalam hal ini, Rasulullah saw. menyatakan keharusan bagi kaum Muslim untuk bersatu dalam satu negara dengan satu kepala negara. Beliau bersabda:
»إِذَا بُوْيِعَ لِخَالِفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا«
Apabila dibaiat dua orang khalifah, bunuhlah yang terakhir di antara keduanya (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id al-Khudri).

Heterogenitas warga negara tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak negara yang berlandaskan akidah Islam. Sepanjang sejarah umat Islam, warga negara kekhilafahan selalu heterogen; tidak pernah menjadi sebuah negara homogen, yakni hanya umat Islam saja. Siapa saja yang tidak mau mengakui realitas sejarah ini, dia telah menutup matanya di tengah benderangnya cahaya lampu lalu dia mengatakan kalau suasananya sedang gelap.
Tuduhan bahwa Islam tidak mengatur tentang pemerintahan merupakan penyesatan dan pengingkaran atas realitas yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Tersebar dalam berbagai kitab hadis atau kitab sejarah bahwa Muhammad saw. pernah mengangkat para wali (gubernur) untuk berbagai wilayah seperti Mu‘adz bin Jabal sebagai wali di Yaman dan Al-Ula bin Hadhrami wali di Bahrain. Beliau juga pernah mengangkat para q稘h_ (hakim) seperti ‘Ali bin Abi Thalib dan Abu Musa al-‘Asy’ari. Beliau juga pernah mengangkat ‘Abddullah bin Rawahah menjadi pengawas tanah pertanian Khaibar. Demikian seterusnya.
Al-Mawardi dan para ulama lainnya secara panjang lebar menguraikan struktur negara; tatacara pengangkatan pejabat (khalifah, menteri, gubernur, amirul jihad); sumber pendapatan negara; serta berbagai hukum yang terkait dengan sistem ‘uq珖穰 (sanksi berupa hud珒, jin窕穰, ta‘z繒, dan mukh稷af穰). Tampak bahwa struktur dan perangkat negara secara lengkap itu didasarkan pada dalil-dalil syar‘_. Adanya perbedaan dalam masalah fikih tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak penerapan syariat oleh negara. Sebab, masalah perbedaan pendapat bukan hanya dalam sistem Islam, tetapi juga dalam sistem demokrasi. Kita mengetahui, bahwa ada perbedaan di antara berbagai negara yang mengklaim sekaligus menerapkan sistem demokrasi.
Dengan tidak menolak adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih, yang menjadi prinsip dasar penerapan syariat Islam ialah:
(a) Negara dibangun di atas akidah Islam.
(b) Hukum yang diterapkan ialah hukum yang berasal dari Allah.
(c) Kepala negara (khalifah) berhak memilih dan menetapkan hukum yang akan diterapkan (diambil dari salah satu hasil ijtihad yang sahih, yang didasarkan pada dalil-dalil syariat yang kuat, bukan hasil ijtihad yang didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok) sesuai dengan kaidah ushul fikih yang menyebutkan:
]أَمْرُ اْلإِمَامِ يَرْفَعُ الْخِلافَ أو أَمْرُ اْلإِمَامِ نَافِذٌ[
Perintah Imam menghilangkan perbedaan pendapat atau Perintah Imam, itulah yang dilaksanakan.

(d) Kepala negara dipilih oleh warga negara.
(e) Masyarakat selalu melakukan kontrol (muh龝abah) terhadap kebijakan Pemerintah. Kontrol masyarakat, tentu saja, harus diartikulasikan melalui mekanisme yang bersifat syar‘_.

Melihat realitas di atas, jelas bahwa konsep sekularisme dan penolakan penerapan syariat oleh negara lebih didasari oleh kepentingan tertentu serta adanya ketakutan Barat akan tegaknya sistem Islam yang akan mengancam peradaban Barat.
Negara Islam dan Nilai-Nilai Kemanusiaan
Tuduhan bahwa warga negara non-Muslim dalam sistem Islam akan menjadi warga negara kelas dua—yang ditekan dan ditempatkan secara tidak manusiawi—lebih merupakan upaya menumbuhkan opini penolakan terhadap syariat Islam. Padahal sesungguhnya, baik secara normatif maupun fakta empiris, hal demikian tidak pernah terjadi. Dalam sistem Islam, warga non-Muslim tetap mendapatkan kebebasan untuk memilih agama yang akan dipeluknya— karena Allah swt. tidak memaksa orang untuk masuk Islam—sekaligus kebebasan untuk mengikuti ketentuan agama masing-masing sepanjang menyangkut masalah-masalah akidah dan ibadah. Di luar itu, yang diterapkan adalah ketentuan hukum Islam.
Dalam sistem ekonomi, misalnya, negara akan menggunakan dinar dan dirham serta meniadakan riba dan judi. Hal ini akan membuat ekonomi tumbuh secara nyata (bukan fatamorgana seperti dalam sistem kapitalis) dan stabil. Sebab, ekonomi bertumpu pada sektor real sekaligus ditopang oleh mata uang yang kuat dan tidak mudah mendapat tekanan inflasi serta depresiasi. Islam juga menentukan bahwa komoditas milik umum—seperti minyak, hutan, gas alam, emas, dan barang mineral lain—adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara. Hasilnya kemudian diberikan kepada seluruh rakyat secara langsung maupun tidak dalam bentuk pelayanan kepada seluruh rakyat baik Muslim maupun non-Muslim. Kesejahteraan dan kebaikan sistem ekonomi Islam ini akan dirasakan oleh semua orang, Muslim maupun non-Muslim.
Sistem pendidikan Islam yang berorientasi pada pembentukan kepribadian Islam dan penguasaan IPTEK diselenggarakan tanpa biaya atau berbiaya murah. Semua itu dapat dinikmati baik oleh warga Muslim maupun non-Muslim. Bandingkan dengan pendidikan dalam sistem kapitalis yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang kaya saja, sementara hasilnya tidak jelas juntrungannya.
Sistem persanksian Islam, yang mampu mencegah orang untuk melakukan tindakan kriminal, juga akan memberikan perlindungan sempurna dan rasa aman keapda seluruh trakyat tanpa kecuali. Kebaikan seperti itu tidak mungkin diberikan oleh sistem hukum sekular yang terbukti gagal memberikan rasa aman dan melindungi masyarakat dari tindakan kriminal.
Dengan demikian, tuduhan bahwa penerapan syariat Islam akan membawa keterbelakangan adalah sepenuhnya salah. Islam tidak menolak kemajuan IPTEK, bahkan fakta sejarah menunjukkan, justru khilafahlah yang memelopori kemajuan IPTEK yang lalu menulari Barat. Sistem syariat Islam menuntun agar kemajuan IPTEK itu memberikan kemaslahatan kepada manusia, memanusiakan manusia, menghormati harkat kemanusiaan dan harkat wanita, serta menyelamatkan interaksi antara anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem sekular justru mengantarkan masyarakat pada berbagai kemadaratan, kehinaan harkat kemanusiaan dan wanita, serta rusaknya interaksi di tengah masyarakat. Syariat Islam akan menata kehidupan manusia dalam pemenuhan berbagai kebutuhan naluriah dan jasmaniahnya secara tepat.
Dengan begitu, di tengah-tengah kemodernan berkat kemajuan teknologi, manusia dapat hidup dengan penuh ketertiban, penghormatan terhadap nilai-nilai kesucian, serta penjagaan terhadap martabat tinggi yang telah ditetapkan Allah swt. untuk manusia dan yang diletakkan dalam misi pengabdian sepenuhnya kepada-Nya.
Walhasil, kebaikan syariat Islam bukan hanya untuk orang Islam, tetapi untuk seluruh umat manusia, termasuk non-Muslim. Wall禀 a’lam. []

Maman Kh., mahasiswa program doktor pada Program Pascasarjana IPB dan staf pengajar pada Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

About This Blog

Lorem Ipsum


Got My Cursor @ 123Cursors.com

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP