Cari uang dan hasilkan profit di internet
BELAJARLAH! SESUNGGUHNYA TIDAKLAH MANUSIA ITU DILAHIRKAN DALAM KEADAN PANDAI

PEMINDAHAN HARTA WAKAF

>> Sabtu, 27 Februari 2010

HUKUM MEMINDAHKAN HARTA WAKAF


Memindahkan harta wakaf, tidak terlepas dari dua keadaan:

  1. Harta wakaf yang bisa dipindahkan

  2. Harta wakaf yang tidak bisa dipindahkan, berupa property: tanah dan rumah


Setiap hal di atas memiliki perincian tersendiri. Hal ini karena harta wakaf yang akan dipindahkan mungkin bisa dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain tanpa menggantinya/merubahnya. Namun, harta wakaf yang tidak bisa dipindahkan, maka ia ketika akan dipindahkan harus diganti atau dirubah sebelumnya. Tentang ini, berikut ini adalah penjelasannya:

Keadaan Pertama:
Hukum Memindahkan Wakaf Barang Yang Bisa Dipindahkan


Jika harta wakaf itu bisa dipindahkan, portable, maka boleh memindahkannya tergantung kebutuhan, menurut mayoritas ulama Islam. Dan inilah perkataan mayoritas madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. (Lihat: Fathul Qadir 6/237, Al-Dur Al-Mukhtar ma’a Hasyiyah ibn Abidin 4/366, Mawahib Al-Jalil 6/32, Al-Syarh Al-Kabir ma’a Hasyiyah Al-Dasuqi 4/91, Raudhah Al-Thalibin 5/359, Mughni Al-Muhtaj 2/392, Taisir Al-Wuquf, 82, Fatawa Ibn Taimiyah 31/275, Kasyaf Al-Qana 4/324, Mathalib Ulinnuha 4/368).

Al-Hushkafi Al-Hanafi berkata:
Sesungguhnya wakaf berupa kitab-kitab untuk para penuntut ilmu, dan disimpan di gedung dan lemari-lemarinya, maka dalam hal hukum bolehnya memindahkannya, ada kebolehan dan ketidakbolehan. (Al-Dur Al-Mukhtar, 4/366)

Imam Ibnu Abidin menjelaskan makna “ada kebolehan dan ketidakbolehan:
Sesungguhnya wakaf itu ketika diutarakan, tidak lepas dari dua perkataan: jika seseorang mewakafkan mushhaf Al-Qur’an tanpa menyebut untuk orang tertentu, maka boleh dibaca oleh anggota keluarganya, dan boleh juga tidak khusus hanya keluarganya, namun boleh dipindahkan ke wilayah lainnya.”

Ibnu Abidin melanjutkan:
Namun, tidak syak lagi bahwa hal ini jika ternyata pewakaf benar-benar mensyaratkan untuk orang tertentu, maka tidak boleh dipindahkan ke wilayah lain; Namun jika sekedar wakaf dan tertulis pada cover mushhaf sebagai wakaf, sebagaimana umumnya, maka berarti wakaf tersebut umum boleh dipindahkan kemanapun.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/366).

Perkataan Imam Ibnu Abidin ini memberikan manfaat kepada kita bahwa jika pewakaf tidak mensyaratkan TIDAK BOLEH memindahkan harta wakaf tersebut, maka tidak mengapa untuk memindahkannya.

Imam Al-kamal Ibnul Humam Al-Hanafi mengatakan dari Muhammad ibn Al-Hasan:
Jika ada seseorang yang menjadikan hartanya sebagai wakaf, dan ia kemudian wafat, dan meninggal pula semua anggota keluarganya, maka harta wakaf itu tidak boleh diberikan kepada ahli warisnya, namun dipindahkan ke wilayah lain. (AL-fath Al-Qadir, 6/237).

Imam Al-Dasuqi Al-Maliki berkata:
Adapun kitab-kitab ilmu agama, jika diwakafkan kepada orang yang tidak bisa memanfaatkannya, semisal orang buta huruf ataupun wanita, maka kitab-kitab tidak boleh dijual, namun dipindahkan ke lokasi baru dimana kitab-kitab itu bisa dimanfaatkan. (Hasyiyah Al-Dasuqiyah 4/91).

Disebutkan dalam kitab-kitab Madzhab Maliki disebutkan:
Ada wakaf kitab-kitab di daerah Tunisia, milik Amir Abul Hasan, untuk sebuah sekolah; satu tempat diwakafkan di daerah Qirwan dan wakaf lainnya ada di daerah Tunisia; dan semuanya ditempatkan di sebuah masjid jami’ Al-Zaitunah; maka tatkala sudah terlalu susah untuk mengelolanya, maka semuanya diberikan kepada sekolah di Tunisia. (Mawahib Al-Jalil, 6/32).

Imam Al-Syarbiny, ulama terkenal dari Madzhab Syafii, berkata:
Jika seseorang mewakafkan harta-benda, kemudian ada pergeseran social di daerah tersebut sehingga terbengkelailah wakaf tersebut serta tidak bisa dimanfaatkan secara optimal, sementara itu daerah lain membutuhkan wakaf yang semisalnya, maka boleh memindahkan harta-benda wakaf tadi ke lokasi baru tersebut. (Mughni Al-Muhtaj, 3/392).
Imam Suyuthy Al-Syafii, pernah ditanya tentang memindahkan kitab-kitab dari perpustakaan Al-Mahmudiyah --perlu diketahui bahwa pewakafnya mensyaratkan agar kitab-kitab tersebut tidak boleh dibawa keluar dari sekolah tersebut, maka beliau menjawab: Yang menjadi pendapatku dalam masalah ini adalah boleh.” (Taisir Al-Wuquf).

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah Al-Hanbali, berkata:
Sesungguhnya wakaf, jika berupa barang bergerak/portable, semisal senjata, kitab-kitab, maka itu merupakan wakaf kepada anak-keturunannya, dan boleh menempatkannya dimanapun diinginkan, bahkan inilah yang semestinya. Berbeda keadaannya jika seseorang mewakafkannya kepada penduduk sebuah negeri tertentu. (Majmu’ Fatawa, 31/267).

Al-Hijawi Al-Hanbali:
Jika seseorang mewakafkan sesuatu untuk perang di daerah tertentu, kemudian sudah tidak dibutuhkan di daerah tersebut, maka alihkanlah harta wakaf tersebut kepada orang lain pada perang di daerah lainnya. (Al-Iqna ma’a Syarhih, 4/293).

Berdasarkan nukilan-nukilan perkataan para imam dari berbagai madzhab di atas, maka jelaslah bahwasannya memindahkan harta wakaf dari satu daerah atau negeri ke daerah atau negeri lainnya, adalah sesuatu yang sudah disepakati menurut mayoritas ulama Islam. Akan tetapi, sebagian ulama membolehkan untuk memindahkannya dengan syarat ada atau nampak jelas kemashlahatan yang lebih besar; sebagian ulama lainnya membolehkannya jika ada di daerah tersebut sudah tidak bisa dimanfaatkan maka boleh memindahkannya, demi optimalisasi manfaat harta wakaf. Seluruhnya bertemu pada satu titik, yaitu bolehnya memindahkan harta wakaf dari satu daerah ke daerah lainnya.

Dalil-Dalil Pandangan ini adalah:
Pewakaf, hanyalah meniatkan dalam wakafnya, yaitu agar harta tersebut bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin secara kontinyu; dan memindahkannya ke lokasi lain, jika memang dibutuhkan, merupakan aplikasi dari melaksanakan tujuan tersebut. (Kasysyaf Al-Qana’, 4/324).

Sebagian ulama madzhab Hanafi menyatakan :
Tidak boleh memindahkan harta wakaf dari lokasinya. Oleh karena itu, Imam Ibnu Abidin dalam kitab Ta’liqnya terhadap kitab Dur Al-Mukhtar, menyatakan bahwa yang bisa disimpulkan dari perkataannya adalah bahwa jika seseorang mewakafkan kitab-kitab dan menentukan pula lokasi kitab tersebut, maka berarti pewakafnya mewakafkan kitab-kitab tersebut hanya kepada penduduk daerah tersebut, maka tidak boleh memindahkannya, baik untuk mereka sendiri ataupun untuk orang lain. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/366).

Akan tetapi, tidak samar lagi, bahwasannya pendapat golongan pertama adalah yang paling rajih (paling kuat atau paling dekat dengan kebenaran). Hal ini dikarenakan larangan memindahkan harta wakaf, tanpa mengganti harta wakaf, bertentangan dengan maksud dari wakaf itu sendiri, menterlantarkan harta wakaf sehingga tidak bisa dimanfaatkan; dan wakaf tidaklah disyariatkan kecuali agar ia bisa memberikan manfaat kepada khalayak secara kontinyu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: Jika anak Adam wafat, maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang terus-menerus dimanfaatkan oleh manusia, dan anak shalih yang mendoakannya.” Tentang hadits ini sudah kami kemukakan derajat haditsnya pada pembahasan lalu.

Dan shadaqah jariyah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah wakaf, sebagaimana penjelasan para fuqaha/ahli fiqih, dan sudah kami kemukakan penjelasannya pada pengantar kitab ini.

Oleh karena itu, boleh memindahkan harta wakaf yang bisa dipindahkan sesuai dengan kebutuhan dan adanya mashlahat yang besar, seperti perguruan tinggi, kitab-kitab para ulama, dan lain-lain. Dan tentang bolehnya merubah persyaratan pewakaf, sudah kami kemukakan penjelasannya pada tema sebelumnya, jika dari wakaf yang nilainya kecil kepada yang lebih besar.

Keadaan Kedua:
Hukum Memindahkan Harta Wakaf Barang Tidak bergerak


Sudah maklum, bahwasannya ulama yang menyatakan tidak bolehnya mengganti harta wakaf, juga melarang dari memindahkan harta wakaf property (rumah dan tanah). Sebab, jika boleh memindahkannya maka konsekuensinya harta wakaf tersebut akan diganti dengan yang baru; hal ini berbeda dengan harta wakaf barang yang bisa dipindahkan (portable), maka setiap ulama yang melarang mengganti harta wakaf berupa property, maka tentu saja ia juga melarang konsekuensi berikutnya, seperti memindahkannya ke lokasi lain.

Adapun ulama yang membolehkan mengganti wakaf dengan yang baru, diantaranya adalah sebagaian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Hanabilah, mereka berbeda pendapat tentang hukum memindahkan wakaf pengganti yang menempati lokasi pertama dan daerah dimana ia berasal. Sebagian mereka membolehkannya demi tercapainya mashlahat. (Lihat: Fatawa Qadhikhan bi Hamisy Al-Hindiyah 3/307, Al-Is’af, hal 36, Al-Bahr Al-Raiq 5/222, Majmu Fatawa Ibn Taimiyah 31/266). Dan sebagian ulama lainnya melarangnya, kecuali jika lokasi berikutnya lebih baik dari lokasi wakaf pertama. (Lihat: Al-Bahr Al-Raiq wa Hasyiyatuhu Manhah Al-Khaliq 5/223, Hasyiyah Ibnu Abidin 4/386).

Imam Ibn Najim Al-Hanafi berkata:
Jika harta wakaf akan diganti lalu dijual, maka uangnya tetap harus dibelikan harta wakaf, baik berupa tanah atau bangunan di daerah manapun. (Al-Bahr Al-Raiq 5/222).

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata:
Aku tidak mengetahui ada satu ulama pun yang mensyaratkan lokasi pemindahan harta wakaf harus masih di daerah yang sama, bahkan nash-nash yang ada pada Imam Ahmad dan pokok-pokok agama menurut beliau dan makna global dari ungkapan beliau dan perkataan sahabat-sahabat beliau yang intinya bolehnya memindahkan dan menggantinya ke daerah manapun asalkan memiliki manfaat dan mashlahat yang lebih kepada pewakafnya.

Beliau berkata lagi:
Imam Ahmad membolehkan untuk memindahkan harta wakaf jika daerah tersebut hancur, maka boleh memindahkan masjid ke daerah lain, bahkan dalam salah satu perkataan beliau, beliau membolehkan untuk menjual masjid tersebut lalu uangnya dibelikan lokasi baru dan dibangun masjid padanya jika di lokasi pertama masjid tersebut sudah tidak dibutuhkan. (Majmu Fatawa, 31/266).

Di sisi lain, Imam Al-Zahidi Al-Hanafi, berkata:
Mengganti bangunan atau rumah wakaf dengan bangunan yang baru, hanyalah dibolehkan jika keduanya masih dalam satu lokasi, atau boleh di lokasi lainnya asal lebih baik daripada lokasi sebelumnya, namun jika sebaliknya maka tidak boleh walaupun lokasi yang baru lebih luas dan lebih mahal. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/386).

Maka, pada intinya, bolehnya memindahkan harta wakaf berupa bangunan atau tanah karena tujuan mashlahat, inilah yang lebih rajah (lebih dekat kepada kebenaran) dan ini lebih menentramkan jiwa. Sebab dengan alasan ini, lebih mendekatkan kepada tujuan inti dari wakaf, yaitu memberikan manfaat yang optimal dari harta wakaf tersebut, dan penentuan lokasi pertama dari wakaf tersebut bukanlah maksud syar’iy dari wakaf apalagi jika tidak bisa memberikan manfaat kepada pewakafnya itu sendiri. Maka, apa saja yang tidak diperintahkan oleh syariat dan tidak pula mendatangkan manfaat bagi manusia, maka tidak ada hukum wajib dan tidak pula sunnah.

Syaikhul Islam ibn taimiyah berkata:
Maka, diketahuilah dari sini, bahwasannya penentuan lokasi pertama dari wakaf, adalah tidak wajib dan tidak pula sunnah, baik bagi pembelinya atau yang mewakilinya; bahkan membandingkan dan mengkoparasikannya dengan harta lainnya adalah boleh, bahkan terkadang sunnah, wajib jika terdapat mashlahat yang jelas nampak, wallahu a’lam. (Majmu Fatawa, 31/268).

Berdasarkan paparan di atas, maka sangat mungkin untuk memindahkan harta wakaf yang sudah terbengkelai, ataupun harta wakaf yang ditujukan demi mendapatkan pahala dan kemuliaan, atau mungkin juga merubah persyaratan pewakaf, berdasarkan penjelasan di atas, demi tercapainya mashlahat yang besar.

0 komentar:

Posting Komentar

About This Blog

Lorem Ipsum


Got My Cursor @ 123Cursors.com

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP