Cari uang dan hasilkan profit di internet
BELAJARLAH! SESUNGGUHNYA TIDAKLAH MANUSIA ITU DILAHIRKAN DALAM KEADAN PANDAI

PENGGABUNGAN HARTA WAKAF

>> Sabtu, 27 Februari 2010

BOLEHKAH MENGGABUNGKAN BERBAGAI HARTA WAKAF YANG BERBEDA DALAM SATU PERUNTUKAN?

Tidak diragukan lagi, bahwasannya wakaf mungkin dimaksudkan demi kemashlahatan pribadi dan anak keturunannya ataupun yang lainnya yang oleh fiqh Islam disebut sebagai Al-Waqf Al-Ahliy atau Al-Waqf Al-Dzurriy (Wakaf keluarga). Konsekuensinya, bagaimana memenej dan mengelolanya adalah dilakukan oleh keluarga tersebut ataupun anak keturunannya, sesuai dengan apa yang ditentukan pada keluarga tersebut. Kita tidak akan membahas wakaf jenis ini.

Atau wakaf jenis kedua, yaitu wakaf untuk layanan public, Al-Waqf Al-Khairiy, semisal wakaf untuk masjid, sekolahan, ataupun untuk layanan fakir-miskin, lansia, anak-anak yatim, atau sekolah luar biasa, institusi di bidang penelitian tertentu yang mempelajari disiplin ilmu tertentu ataupun inovasi-inovasi baru.

Wakaf jenis kedua inilah yang sedang kita bicarakan kali ini. Namun di sini ada satu pertanyaan yang perlu kita kaji. Apakah wakaf jenis kedua ini (wakaf untuk layanan public), seandainya semua wakafnya atau sebagiannya ada di bawah pengawasan sebuah institusi/lembaga, apakah setiap jenis wakafnya dipertanggungjawabkan secara sendiri-sendiri, dan dipergunakan berdasarkan kekhususan wakaf itu sehingga tidak boleh dicampur dengan harta wakaf lainnya yang berbeda peruntukannya? Ataukah mesti kita lihat kepada setiap jenis harta wakaf ini sebagai satu kesatuan tanggung jawab, sehingga bisa saja satu harta wakaf dengan harta wakaf lainnya saling mengisi dalam pemanfaatan dan pertanggung jawabannya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka kita kemukakan hal sebagai berikut. Sesungguhnya inti dan ketentuan mendasar serta kaidah asasi dalam setiap jenis harta wakaf adalah disesuaikan dengan kekhususannya walaupun dikelola dalam pengawasan satu institusi dengan satu manajemen. Hal ini dimaksudkan demi menjaga harta wakaf tersebut untuk konsisten dipergunakan sesuai peruntukannya sebagaimana dimaksudkan oleh pewakaf.


Imam Al-Bahutiy berkata:
Penyaluran dan penggunaan harta wakaf adalah sesuai dengan peruntukannya yang sudah ditentukan.” (Syarh Muntahal Iradat 2/406). Ini terkait dengan kewajiban-kewajibannya, membangunnya, merawatnya. Semisal, wakaf tabungan yang dikhususkan untuk urusan tertentu, maka ia memiliki tanggung jawab harta secara khusus dan tersendiri.

Dan inilah intinya, selama bisa dilakukan dan tidak adanya pertentangan dalam peruntukan harta wakaf lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya dalil-dalil tentang pentingnya menjaga harta wakaf dan menunaikan peruntukannya sesuai aqadnya, persyaratannya, kecuali jika persyaratan pewakaf bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah atau sulit dilaksanakan.


Imam Al-Qurafiy berkata:
Wajib atas pengelola wakaf untuk menuruti dan mengindahkan persyaratan wakaf sebagaimana ditetapkan oleh pewakaf, sebab harta itu adalah hartanya dan ia tidak mengizinkan untuk digunakan kecuali sesuai peruntukan yang dimaui olehnya (pewakaf), dan hukum asal dalam harta-benda manusia adalah Al-Ishmah, artinya tidak boleh ada pihak lain yang mengambilnya atau mempergunakannya untuk tujuan dan kepentingan yang tidak dimaui oleh sang empunya. (Al-Dzakirah, Cet. Dar Al-Gharb Al-Islamiy 6/326).


Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata:
Maksudnya adalah mempergunakan harta wakaf harus sesuai peruntukan yang dipersyaratan oleh pewakaf, oleh karena itu, para fuqaha mengatakan bahwa perkataan pewakaf tentang persyaratan dan peruntukan harta wakafnya adalah seperti layaknya nash Al-Qur’an, yaitu agar difahami dan dilaksanakan apa yang dimauinya sebagaimana kita memahami dan mengamalkan nash Al-Qur’an. (Majmu Fatawa 31/98).

Sesuai dengan kaidah inti wakaf inilah, maka jelaslah bahwa yang rajih (lebih kuat dan lebih dekat dengan kebenaran) adalah bolehnya mempergunakan semua harta wakaf dalam satu jenis penggunaan, semisal sebuah masjid, dimana mesti dilihat pada semua jenis wakaf yang ada di dalam masjid tersebut yang dikelola oleh satu manajemen sebagai satu kesatuan tanggung jawab, sesuai dengan mashlahat yang dianggap paling rajih. Akan tetapi, dengan mendahulukan mashlahat harta wakaf itu sendiri secara khusus daripada yang lainnya. Jika ada kelebihan atau adanya mashlahat yang lain, maka harus disalurkan kepada mustahiqnya sesuai peruntukannya. Demikian juga jika wakafnya diperuntukan bagi para fakir-miskin, atau sekolah, atau yang lainnya.

Akan tetapi, ada satu pertanyaan lagi yang muncul, yaitu Apakah kita bisa melihat kepada berbagai jenis peruntukan wakaf yang berbeda dan dianggap sebagai satu peruntukan, kemudian disalurkan hasil wakafnya kepada semua peruntukan sesuai mana yang lebih mendesak dalam kemaslahatannya?

Para fuqaha Madzhab Malikiyah telah berfatwa, disebutkan dalam kitab Nawazil Al-Ilmiy: Harta wakaf, seluruhnya --jika semuanya untuk Allah semata-- sebagiannya dengan sebagian yang lainnya bisa saling membantu, demikian juga konsekuensi dari fatwa Abu Muhammad Al-Abdusiy, sebagaimana nukilan fatwa dari Imam Al-Barzuliy dan Ibnul Majisyun (sahabat Imam Malik -pent) dan selain kedua Imam ini dari Madzhab Imam Malik. (Nawazil Al-Ilmiy, 2/313-314).

Dan ada fatwa dari kedua Imam ini: Imam Ashbagh dan Ibnul Majisyun berkata: “Harta yang diwakafkan yang diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah boleh dimanfaatkan antara satu harta wakaf dengan harta wakaf lainnya bisa saling menyokong. Dan Ashbagh meriwayatan dari Imam Al-Qasim, sama seperti yang diungkapkan oleh kedua Imam tersebut dalam hal lahan kuburan yang sudah tidak lagi dipergunakan lalu masyarakat membangun masjid diatasnya, maka beliau menjawab: Aku berpandangan hal itu tidak apa-apa.” Beliau berkata: Dan demikian juga tentang semua harta yang diberikan kepada Allah (harta wakaf), maka tidak mengapa salah satunya dipergunakan untuk membantu jenis wakaf lainnya. Sebagian ulama mutaakhirin mengatakan bahwa pandangan ini merupakan pandangan yang laing rajih, sebab memanfaatkan kelebihan atau sisa dari harta wakaf untuk jalan-jalan kebajikan justeru merupakan upaya pengoptimalan harta wakaf itu sendiri dan memperbanyak pahala bagi pewakafnya.” (Idem, 2/344-345).

Imam Abu Muhammad Al-Abdusiy berkata menjawab permasalahan seputar penggabungan harta wakaf yang terpisah-pisah, “Boleh menggabungkannya sehingga menjadi satu jenis dan satu lokasi sehingga tidak berbilang, dan pemanfaatannya juga menjadi satu, dan dibangun padanya masjid sebagai aplikasi penyatuan harta wakaf.” (Idem, 2/344-345).

Sebagian ulama Madzhab Hanabilah berfatwa bolehnya membangun lahan wakaf dari harta wakaf lainnya untuk digunakan sesuai keinginan harta wakaf tersebut.


Imam Ibnu Muflih berkata:
“Dan uang itu disalurkan --maksudnya uang hasil penjualan harta wakaf-- sesuai dengan asal wakafnya.” Demikian juga disebutkan dalam kitab Al-Muharrar dan Al-Wajiz dan kitab Al-Furu’. Bahkan ada tambahan keterangan: “Boleh juga menyalurkan sebagiannya sesuai asal wakaf tersebut.” Demikian dikatakan oleh Imam Ahmad, sebab hal itu lebih dekat kepada maksud yang dimaui oleh pewakaf.” Kemudian beliau berkata, “Dan yang nampak adalah Imam Al-Khurqiy, beliau mengatakan bahwa tidak mesti harus sesuai dengan asal wakafnya. Demikian juga yang disebutkan dalam kitab Al-Mughni dan kitab Al-Syarh.” Jadi, yang penting dari maksud wakaf adalah kemanfaatannya, namun harus dipastikan bahwa penyaluran manfaatnya dalam sisi kemashlahatan yang lebih utama dan lebih besar, sebab mengubah peruntukan, padahal bisa menyalurkannya sesuai dengan peruntukan wakaf, adalah tidak boleh. Demikian juga wakaf yang berupa kuda atau kendaraan perang, jika sudah tidak lagi digunakan untuk perang, maka boleh dijual dan uangnya diperuntukan bagi kepentingan jihad. Dan ada riwayat lain dari beliau, “Uangnya bisa dibelikan untuk hewan kendaraan wakaf, dan jika ada sisa hasil dari hewan itu, bisa disalurkan kepada masjid lainnya atau shadaqah untuk fakir-miskin. Dan ini juga yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah. Beliau berkata, “Dan boleh disalurkan dalam semua jenis kebajikan dan membangun rumah untuk mustahiqnya yang melaksanakan pekerjaan demi kemaslahatan harta wakaf tersebut.” (Al-Mabda’ fii Syarh Al-Muqni’, cet. Qatar 5/355-357, secara ringkas).

Maka, fatwa-fatwa yang datang dari dua madzhab tersebut, semuanya membolehkan memandang semua kebajikan dari berbagai harta wakaf yang berbeda dengan sebuah pandangan yang artinya menyatukan pemanfaatan harta wakaf sesuai mashlahat yang nampak nyata. Dan yang nampak jelas dalam menentukan mana yang rajih dari dua pilihan adalah bahwa hal ini masuk dalam koridor pengecualian, sehingga harta wakaf tetap sebagaimana asal peruntukannya, kecuali jika ada mashlahat yang lebih besar. Inilah yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam mengkorelasikan antara penyaluran/peruntukan harta wakaf dengan kadar kemashlahatan yang bisa digapai. Beliau berkata, setelah menyatakan bolehnya mengubah atau menjual harta wakaf, “Maka, cara mengelola harta wakaf adalah dengan melihat kepada mashlahat wakaf tersebut, mengusahakan penggapaian mashlahat semaksimal mungkin, dan telah tsabit (shahih) dari Khulafaur Rasyidin, semisal Umar dan Utsman, dimana kedua khalifah ini mengubah harta wakaf karena adanya mashlahat yang lebih besar, bahkan Khalifah Umar lebih tegas lagi, dimana beliau mengubah Masjid Kufah lama menjadi pasar kurma lalu membangun masjid baru di tempat lain sebagai gantinya. Wallahu a’lam. (Majmu Fatawa 31/361).***

0 komentar:

Posting Komentar

About This Blog

Lorem Ipsum


Got My Cursor @ 123Cursors.com

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP