Cari uang dan hasilkan profit di internet
BELAJARLAH! SESUNGGUHNYA TIDAKLAH MANUSIA ITU DILAHIRKAN DALAM KEADAN PANDAI

DRAF RESMI RUU KAWIN SIRI

>> Minggu, 28 Februari 2010

Menag: Belum Ada Draf Resmi, yang Beredar Ilegal


Menteri Agama Suryadharma Ali menyesalkan maraknya polemik seputar kawin sirri. Padahal yang dipolemikkan itu belum ada wujudnya.

Draf resmi dari pemerintah belum ada. Saya belum pernah menandatangani draf itu. Jadi yang beredar selama ini adalah draf ilegal, papar Menag saat konferensi pers khusus terkait polemik kawin sirri di kantor Kementerian Agama Jakarta, Jumat(19/2).
Bahkan Menag menegaskan bahwa soal hukum pidana bagi pelaku nikah sirri hanya sebatas wacana. Itu kan baru wacana, kata Menag. Jangan-jangan masalah ancaman pidana itu hanya perdebatan di luar saja.

Menag menjelaskan Indonesia adalah negara hukum dan setiap pengaturan hak dan kewajiban negara termasuk pembatasan-pembatasan hak warganegara harus berdasarkan atas hukum dan harus ditetapkan dengan Undang-undang.

Menurutnya, selama ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi hukum dalam memutus sengketa orang Islam termasuk dalam hal perkawkinan belum sesuai dengan UUD 1945, karena didasarkan kepada Instruksi Presiden No 1 tahun 1991.

Dia memaparkan KHI terdiri atas tiga buku, yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.
Buku III tentang Hukum Perwakafan telah ditingkatkan menjadi UU No 41 tentang wakaf. Sementara buku I tentang hukum perkawinan dan buku II tentang hukum Kewarisan masih belum ditetapkan dengan UU, tambahnya.

Karena itu ada kebutuhan untuk meningkatkan status Kompilasi Hukum Islam pada kedua hal tersebut, yaitu Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan menjadi UU. Namun demikian sampai saat ini belum draf RUU yang resmi dari pemerintah. Sehubungan dengan status tersebut, mohon kirianya berbagai pihak untuk tidak menjadikan polemik, ucap Menag.

Kawin sirri sah
Suryadharma Ali selaku pribadi menegaskan bahwa kawin sirri adalah sah. Yang namanya kawin sirri, itu sah menurut agama, karena syarat dan hukumnya terpenuhi, tegas Suryadharma Ali. Namun ini pendapat pribadi saya ya, bukan sebagai Menteri Agama.

Dia memaparkan dalam terminologi fiqih, tidak ada istilah kawin sirri. Kawin sirri ini merupakan pernikahan yang tidak dicatat. Nah, jika dalam perkembangannya disalahgunakan, berarti bukan kawin sirinya yang salah, tapi pelakunya yang salah, tegas Suryadharma.

Ia pun mencontohkan dengan sebuah pabrik mobil. Mobil diproduksi untuk keselamatan penumpangnya adalah bertransportasi. Namun jika kemudian mobil itu digunakan untuk transaksi narkoba, membununuh orang dan lainnya, yang salah pabrik mobilnya atau pemilik mobil. Nah itu sama dengan itu, tandasnya.

Dia membenarkan bahwa ada suatu kebutuhan untuk mengatur masalah nikah sirri, poligami, kawin kontrak dan sebagainya dalam suatu Undang-Undang.

Ada kebutuhan untuk itu. Tapi seperti apa dan kapan, belum bisa saya sampaikan. Karena kan harus ada RUU-nya dan RUU itu harus dibahas berdasarkan kajian akademis dan masukan dari berbagai pihak dan harus ada pembahasan secara interdept, kata Menag

Read more...

Administrasi Pernikahan

Pemerintah Harus Berikan Kemudahan Administrasi Pernikahan


Ketua Bidang Dakwah dan Infokom Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Prof Dr H Duski Samad mengharapkan pemerintah mempermudah proses administrasi pernikahan yang selama ini dirasakan masyarakat masih sulit.

Kalau pemerintah ingin mengatur nikah sirri, maka jangan mempersulit masyarakat yang ingin menikah. Sampai saat ini masyarakat yang mengurus administrasi pernikahan harus melewati banyak jenjang mulai dari RT, kelurahan, hingga ke KUA, kata Duski, kemarin.
Selain harus melewati banyak jenjang, kata dia, masyarakat juga merasakan dana yang harus dikeluarkan masih besar.

Guru Besar Pemikiran Islam IAIN Imam Bonjol Padang itu setuju dengan rencana pemerintah mengatur tentang nikah sirri, dengan membuat Rancangan Undang-undang Hukum Materi Peradilan Agama (HMPA).

Ia mengatakan, istilah nikah sirri berarti menikah secara diam-diam. Pada prinsipnya, tidak ada nikah yang dilaksanakan diam-diam atau tertutup. Sebab menurut Islam sebuah pernikahan mesti dihadiri saksi dan wali, minimal dihadiri lima orang.

Jadi menurut istilah, nikah sirri itu tidak ada, kata Duski. Menurut dia, nikah sirri yang dimaksud pemerintah adalah nikah yang tidak terdaftar. Melalui pengaturan pernikahan semacam ini, pemerintah memberi kepastian kepada anak, perwalian, dan harta gono gini.
Secara umum pemerintah ingin memberikan perlindungan kepada anak dan kaum perempuan, katanya seperti dilansir Antara.

Duski mengatakan, di segi hukum kepatutan perkawinan tidak masalah kalau pernikahan sirri dibuat aturannya. Ini bertujuan agar dari segi hak kaum perempuan tidak terzalimi. Namun yang paling penting adalah, kalau bisa berterus terang, kenapa menikah harus diam-diam, katanya.

Terkait ancaman pidana bagi yang menikah sirri, Duski Samad mengatakan tidak ada masalah.
Dari sisi agama tidak masalah ada ancaman pidana. Sama halnya dengan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga, yang gunanya memberikan perlindungan kepada kaum perempuan, ujarnya.

Rancangan Undang-undang Hukum Materi Peradilan Agama sebelumnya sempat menuai polemik di tengah-tengah masyarakat. Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat meminta polemik kawin sirri yang belakangan ini makin mengemuka di berbagai media massa untuk dihentikan karena Rancangan Undang-undang Hukum Materi Peradilan Agama belum disampaikan ke legislatif. Itu baru draf, yang dimaksudkan untuk melengkapi Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, UU Perkawinan itu sendiri masih belum disampaikan ke DPR RI, kata Bahrul Hayat

Read more...

Jalan Kembali ke Ilahi

Dalam sebuah hadis yang dikenal dengan ‘Hadis Jibril’, Nabi Muhammad mengajarkan tiga dimensi pokok Islam yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Kisahnya ketika itu Nabi saw dan para sahabatnya sedang duduk-duduk bersama dalam sebuah majelis, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Nabi saw. Setelah laki-laki itu pergi, Nabi saw memberitahu sahabatnya bahwa dia adalah Malaikat Jibril yang datang untuk mengajarkan agama (dien) kepada mereka. Sebagaimana terangkum dalam pertanyaan-pertanyaan Jibril dan jawaban-jawaban Nabi, agama Islam memiliki tiga dimensi dasar yakni Islam, Iman dan Ihsan.Ajaran Islam, pada tataran eksternal adalah agama yang memberitahukan kepada umat manusia apa yang wajib dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan. Perbuatan-perbuatan baik dan buruk dijelaskan dan dikodifikasi oleh syariat. Dalam hal ini syariat dapat diumpamakan sebagai ‘tubuh’ Islam, karena ia menjelaskan berbagai amal perbuatan yang dilakukan anggota tubuh, dan karena ia memperkuat kehidupan dan kesadaran tradisi. Perintah-perintah seperti shalat, puasa, zakat dan haji merupakan contoh dari tataran ini.Pada tataran lebih dalam, Islam merupakan agama yang mengajarkan kepada umat manusia bagaimana memahami dunia dan diri mereka sendiri. Dimensi kedua ini berhubungan dengan pikiran. Secara tradisional disebut ‘keimanan’, karena setiap bagian orientasinya adalah obyek-obyek yang berkaitan dengan keimanan –kepada Allah, para malaikat, Nabi dan sebagainya. Pada tataran ini dibutuhkan kajian dan perenungan atas keyakinan-keyakinan Islam

Selanjutnya pada tataran yang paling dalam, Islam adalah agama yang mengajarkan umat manusia bagaimana mentransformasikan diri mereka sendiri agar mereka dapat menciptakan keselarasan dengan sumber segala wujud. Aktivitas dan pemahaman harus difokuskan sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan kebajikan dan kesempurnaan manusia. Kebajikan ini inheren dan bersifat intrinsik bagi fitrah manusia, yang diciptakan dalam citra Ilahi. Hal inilah yang merupakan dimensi ihsan dalam Islam. Dalam tradisi para Sufi, dimensi ihsan ini memainkan peran yang sangat penting di samping Islam dan Iman. Dalam hadis itu, Nabi saw mendefiniskan ihsan dengan ‘beribadalah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Akan tetapi, apabila engkau tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu.’ Ihsan inilah yang merupakan jantung dari agama yang meliputi kebaikan, cinta, kebajikan dan kesempurnaan.

Namun demikian tidaklah mudah bagi manusia untuk menjalankan ketiga dimensi tesebut, khususnya pada dimensi ketiga, ihsan. Karena di dalam diri manusia selalu terjadi peperangan antara Jiwa Kebajikan dengan Hawa Nafsu dan Syahwat. Jiwa Kebajikan cenderung untuk mengabdi kepada Allah, sedangkan hawa nafsu dan syahwat cenderung untuk kepada kehidupan duniawi material saja dan lalai kepada Allah. Memang untuk mempunyai kesadaran ruhani seperti itu bukan hal mudah. Sebuah proses perbaikan harus dilakukan untuk kita meningkatkan jiwa kita mencapai Jiwa Kebajikan. Untuk itu menyadari hakikat diri kita merupakan hal penting dalam membangun kesadaran beragama itu. Jika kita mau mengurai \'dari mana mulai beragama\', ini dapat kita mulai dengan menyadari dalam diri kita (manusia) ada aspek \'lahir\' dan ada aspek \'bathin\'. Aspek lahir adalah tubuh ini, yang apabila ajal telah menjemput akan dikuburkan dalam tanah. Dan akan kembali menjadi tanah. Aspek bathin adalah sang ‘jiwa’, yang pernah bersaksi kepada Allah sebelum kita terlahir (QS 7:172) dan yang kelak akan disiksa di alam kubur apabila menemui ajal dalam keadaan berdosa. Dan yang tetap akan hidup damai bersama jiwa-jiwa para Nabi, Shidiqin,Syuhada dan Shalihin apabila menghampiri ajal dalam keadaan suci bersih.


“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):\"Bukankah Aku ini Rabbmu\". Mereka menjawab:\"Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi\". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: \"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)\". (QS. 7:172)


Jiwa dalam bahasa Arab disebutkan sebagai \'an-Nafs\' bukan \'ar-Ruh\'. Karena antara jiwa dan ruh sesungguhnya ada perbedaan. Ruh manusia berbeda dengan ruh hewan. Apabila Ruh hewan hanyalah berfungsi sebagai nyawa untuk menghidupkan jasad, ruh manusia berfungsi pula sebagai sumber pengetahuan Ilahiah (Ruh Amr).


Ruh manusia merupakan sebahagian Ruh Allah yang ditiupkan ke dalam diri manusia. Karena itu apabila manusia benar-benar dapat merefleksikannya, manusia akan menjadi citra Allah di muka bumi yang ini dalam termilogi Islam sering disebut sebagai Insaan Kamil. Dan jika ini terjadi dalam diri seorang manusia, maka ia disebut sebagai khalifah (wakil atau citra) dari Allah. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. 32:9)


Keberadaan jiwa manusia itu sendiri berada pada dua pengaruh, yaitu pengaruh Ruh Amr dan pengaruh Jasad. Jiwa yang dipengaruhi Ruh Amr inilah yang merupakan Jiwa Kebajikan. Sedangkan akibat dari pengaruh jasad ini kemudian muncul entitas-entitas hawa nafsu dan syahwat. Hawa nafsu dan syahwat ini adalah kendaraan bagi manusia untuk hidup di dunia, namun sekaligus sebagai batu ujian dari Allah. Seorang manusia tiada akan mungkin dapat hidup di dunia tanpa hawa nafsu dan syahwatnya. Namun manusia yang merelakan diri, segala aktifitasnya didasari oleh hawa nafsu dan syahwat akan semakin menyebabkan jiwanya turun derajatnya, bahkan lebih rendah dari hewan.


“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya.Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu).” (QS. 25:43-44)


“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” (QS. 45:23)


Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.(QS. 7:179) Namun manusia yang mengendalikan dirinya dari hawa nafsu dan syahwatnya, maka sang jiwa akan mengalami proses pensucian atau penyempurnaan. dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, (QS. 91:7-8) Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:40-41)


Sedangkan orang-orang yang tiada memperdulikan aspek bathiniahnya, hanya fokus kepada aspek lahiriahnya, akan merelakan seluruh aktifitasnya untuk diatur oleh hawa nafsu dan syahwatnya. Akibatnya tanpa disadarinya, Jiwa Kebajikannya terbelenggu, diperbudak dan dipenjara oleh hawa nafsu dan syahwatnya.


Manakala Jiwa Kebajikan terbelenggu oleh hawa nafsu dan syahwatnya, maka ia akan lupa terhadap apa yang pernah diperjanjikannya kepada Allah sebelum lahir ke muka bumi. Dan apabila ini terus terbawa sampai menghadapi ajal, maka Jiwa Kebajikan akan menanggung penderitaan, karena tidak memenuhi janjinya.


Usaha diri kita untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu dan syahwat, inilah merupakan \'gerbang\' dari seluruh proses keagamaan kita. Apabila seseorang mengendalikan diri dari hawa nafsu dan syahwatnya,maka sedikit demi sedikit Jiwa Kebajikan akan terlepas dari belenggu hawa nafsu dan syahwat. Dan sedikit demi sedikit ia akan mengingat \'perjanjiannya\' dengan Sang Rabb sebelum ia dilahirkan ke muka bumi.


Jika kita ibaratkan hawa nafsu dan syahwat itu bagaikan hewan ternak, yang jika tidak dikendalikan akan semakin liar dan sulit diatur. Lihatlah diri kita, apabila kita melakukan sebuah kemaksiatan kemudian mengulanginya lagi, maka akhirnya semakin sulit bagi kita untuk mengendalikannya. Dan akhirnya sulit bagi kita untuk keluar darinya. Seperti sebuah cermin yang bening, jika lama-kelamaan tidak dibersihkan maka akan semakin buram dan tidak akan dapat berfungsi menjadi cermin, karena tidak ada bayangan yang dapat dipantulkan di sana.


Kita harus menyadari bahwa keberadaan hawa nafsu dan syahwat yang ada dalam diri manusia itu, adalah media bagi setan untuk menggoda manusia. Tanpa godaan dari setan sekalipun hawa nafsu dan syahwat telah mencenderungkan manusia kepada keburukan. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 12:53). Namun bukan berarti kita harus menghilangkannya sama sekali, hanya saja hawa nafsu itu harus dikendalikan agar kita tidak terjerumus ke dalam kenistaan.


Apabila seseorang berusaha untuk mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya
dengan sungguh-sungguh (mujahadah), maka apabila Allah ridha terhadap upayanya, maka Allah akan menolongnya. Satu demi satu hawa nafsu dan syahwat yang liar, akan menjadi \'jinak\' dan terkendali. Inilah yang disebut di ayat di atas sebagai \'nafsu yang telah diberi rahmat\'. Maka Jiwa Kebajikan akan semakin dapat mengendalikan hawa nafsu dan syahwat-nya ini, menjadi semakin sempurna, menjadi muthmainnah (nafs al muthmainnah). Dan apabila hawa nafsu dan syahwat telah \'jinak dan terkendali\', maka ini akan menjadi kendaraan bagi manusia untuk kembali kepada Allah. “Hai nafs al-muthmainnah. Kembalilah kepada Rabbmu dengan ridha lagi diridhai-Nya.” (QS. 89:27-28)

Read more...

AKIBAT DUSTA

Akibat Dusta



Ada sebuah cerita tentang betapa jeleknya sikap seorang Muslim yang menghina saudaranya yang Muslim. Cerita ini dikisahkan oleh Husein Mazhairi dalam bukunya Jihad an-Nafs. Ada seorang wanita tua pergi menemui dokter. Dia berkata kepada dokter, "Kertas resep yang telah anda berikan kepada saya telah saya rebus dan saya minum, akan tetapi kesehatan saya belum juga pulih." Wanita tua itu tidak mengerti bahwa kertas resep itu harusnya untuk menebus obat di apotik bukannya direbus dan diminumnya.

Dokter itu kemudian berkata kepadanya, "Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda." Lalu dokter itu pun kembali menuliskan resep, dan menyuruh wanita desa itu pergi ke apotik untuk menebus obat dan menggunakannya, agar penyakitnya sembuh." Kemudian tiba giliran sahabat Husein Mazhairi, sudah tidak ada orang lain selain dia dan dokter. Ia berkata kepada dokter, "Wahai dokter, apa yang anda telah perbuat hari ini?" Dokter itu bertanya, "Apa yang telah saya lakukan?" Ia berkata lagi, "Anda tidak hanya telah melakukan satu dosa, melainkan Anda telah melakukan banyak dosa. Dosa anda yang pertama adalah memperolok seorang Muslim. Dan jika seorang Muslim memperolok seorang Muslim lainnya, serta menjatuhkan harga dirinya, maka dosa yang dilakukannya itu sungguh besar sekali."

Kemudian ia melanjutkan perkataannya, "Adapun dosa yang kedua ialah anda telah menyebabkan orang lain menertawakan dan melecehkan wanita desa itu, sehingga dia merasa malu. Jika anda tidak mengeluarkan kata-kata itu maka orang-orang tidak akan memperolok-olokannya. Adapun dosa anda yang ketiga adalah anda telah berdusta manakala anda mengatakan, 'Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda.' Perkataan ini adalah dusta. Wanita ini tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap resep obat. Darimana anda tahu bahwa dia bukan seorang istri dan ibu rumah tangga yang saleh? Dia adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang saleh. Oleh karena itu, perkataan anda yang berbunyi 'Betapa ruginya roti yang diberikan kepada anda oleh suami anda' adalah perkataan dusta."

Dari cerita itu kita dapat melihat betapa perbuatan yang tampaknya kecil ternyata telah mengakibat dosa yang besar. Allah berfirman, "Maka jauhilah olehmu berhala yang najis itu dan jauhilah olehmu perkataan-perkataan dusta." (QS. al-Hajj:30) Hikmah dari cerita ini salah satunya adalah bahwa kita harus mengawasi tingkah laku kita. Inilah yang membedakan antara orang yang bodoh dan yang berakal. Seorang yang berakal adalah orang yang berpikir terlebih dahulu baru kemudian berbicara; sementara orang yang bodoh adalah orang yang berbicara terlebih dahulu baru kemudian berpikir.

Perilaku seorang Muslim dalam bertindak hendaknya dilakukan dengan berpikir dulu baru kemudian berbicara. Misalnya anda adalah seorang guru, dan kemudian anda berbicara di dalam kelas yang mendatangkan musibah. Perkataan yang anda katakan itu bisa menimbulkan kekacauan pada diri seseorang dan mendatangkan berbagai musibah. Perkataan anda itu pada hakikatnya telah membunuh anak-anak murid. Karena, perkataan anda itu telah merusak kepribadiannya yang ini jauh lebih buruk dibandingkan pembunuhan jasmani.

Ada sebuah kisah yang patut kita simak bahwa dengan tidak berdusta akan berdampak pada kebaikan diri. Ketika Syaikh Abdul Kadir, tokoh sufi terkenal, berusia 18 tahun, ia meminta izin kepada ibunya merantau ke Baghdad untuk menuntut ilmu agama. Ibunya tidak menghalangi cita-cita Abdul Kadir meskipun ia keberatan melepaskan anaknya pergi jauh sendirian. Sebelum pergi ibunya berpesan supaya jangan berkata bohong dalam keadaan apapun juga. Ibunya membekalkan uang 40 dirham dan dijahit di dalam pakaian Abdul Kadir. Sesudah itu ibunya melepaskan Abdul kadir pergi bersama-sama satu rombongan yang kebetulan hendak menuju ke Baghdad.

Dalam perjalanan, mereka telah diserang oleh para penyamun. Seluruh harta kafilah tersebut dirampas, tetapi penyamun tidak mengusik Abdul Kadir karena menyangka dia tidak mempunyai apa-apa. Salah seorang perompak bertanya Abdul Kadir apa yang dia punya. Abdul Kadir menerangkan dia ada uang 40 dirham di dalam pakaiannya. Penyamun itu kemudian melaporkan kepada ketuanya. Pakaian Abdul Kadir dipotong dan didapati ada uang sebagaimana yang dikatakannya.

Pimpinan penyamun bertanya kenapa Abdul Kadir berkata benar walaupun diketahui uangnya akan dirampas? Abdul Kadir menerangkan bahwa dia telah berjanji kepada ibunya supaya tidak berbicara bohong walau apa pun yang terjadi. Ketika mendengar Abdul Kadir berbicara begitu, ketua penyamun menangis dan menginsyafi kesalahannya. Sedangkan Abdul Kadir yang kecil tidak mengingkari kata-kata ibunya betapa dia yang telah melanggar perintah Allah sepanjang hidupnya. Pimpinan penyamun bersumpah tidak akan merompak lagi. Dia bertaubat di hadapan Abdul Kadir diikuti oleh pengikut-pengikutnya.

Merebaknya kedustaan dan langkanya kejujuran inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia terjerambah dalam mega permasalahan sampai sekarang. Dewasa ini ketidakjujuran dalam beragam bentuknya nyaris dapat ditemui pada semua lapisan masyarakat dan pada semua dimensi kehidupan: politik, sosial, ekonomi, atau pendidikan.

Dalam kehidupan politik para politisi lebih terfokus pada perebutan kekuasaan, terutama menjelang Pemilu 2004 daripada mengembangkan kepedulian untuk bersama-sama memperbaiki situasi negara dan bangsa. Suara lantang mereka saat kampanye pemilu lalu bahwa mereka akan memperjuangkan nasib rakyat belum dibuktikan secara serius dan nyata sampai kini. Pada kehidupan sosial, ketidakjujuran juga telah menjadi gejala fenomenal. Kesepakatan untuk hidup damai antar-etnis, antar-agama, dan sejenisnya lebih merupakan sekadar retorika yang tidak didukung kejujuran dan ketulusan hati. Akibatnya, konflik terus berkembang dan kehidupan kian memanas.

Aspek kehidupan lain, seperti pendidikan dan ekonomi, menunjukkan secara jelas kejujuran belum dijadikan landasan mengembangkan kependidikan atau aspek yang bersifat ekonomi. Pendidikan yang berjalan sejauh ini lebih terkesan formalistik ketimbang sebagai proses transformatif. Pendidikan masih belum mampu mengakomodasi eksistensi manusia seutuhnya. Ekonomi masih bersifat pembangunan kapitalistik yang hanya "membesarkan" sebagian kecil elite bangsa. Pendidikan rakyat atau ekonomi kerakyatan hanya gaung yang belum ada wujudnya. Semua itu mengungkapkan, kebohongan atau kemunafikan telah mendominasi-sampai derajat tertentu-kehidupan bangsa. Sedangkan kejujuran dan sebangsanya kian terpinggirkan dan menjadi barang yang hampir langka bagi "bangsa besar" ini.

Janji-janji muluk para politisi merupakan kedustaan jika mereka tidak menepatinya. Kita sebagai Muslim harus hati-hati di dalam perkataannya dengan berpikir terlebih dahulu, baru kemudian berbicara. Karena jika kita melukai perasaan orang lain maka kita akan kehilangan kecintaan dari hati-hati manusia, dan menjadi orang yang tidak disukai oleh masyarakat.
Di sinilah perang nilai-nilai agama perlu didekati kembali, dipahami, dan diaplikasikan secara utuh. Agama tidak dapat dijadikan sebagai wahana penyelamat manusia di alam eskatalogis semata. Agama perlu dijadikan moralitas kehidupan yang dapat menyelamatkan seluruh umat manusia di dunia dari kehancuran dan kebiadaban. Salah satunya adalah menegakkan sifat kejujuran, yang merupakan buah agama dari nilai-nilai tasawuf yang diajarkan para sufi sejati.
Dalam buku yang sama Husain Mazhairi menceritakan pula sebuah riwayat tentang seorang pemuda yang meninggal dunia. Kemudian jenazahnya dimandikan, dikafankan dan dimakamkan oleh Rasulullah saw. Setelah orang-orang meletakkan jenazah pemuda itu di dalam kubur, ibunya datang ke kuburannya. Lalu ibunya berkata, "Wahai anakku, sebelum ini saya bersedih atas kematianmu. Akan tetapi sekarang, setelah saya menyaksikan Rasulullah saw sendiri yang menguburkan kamu maka saya pun tidak bersedih hati lagi. Ketahuilah olehmu, bahwa kamu adalah orang yang berbahagia."

Ketika mendengar perkataan itu Rasulullah saw tidak mengatakan sepatah kata pun. Setelah itu ibunya pun pulang. Rasulullah berkata, "Sesungguhnya lubang kubur menghimpitnya dengan himpitan yang mematahkan tulang-tulang dadanya." Para sahabat berkata, "Ya Rasulullah, dia adalah seorang pemuda yang baik dan istiqamah." Rasulullah berkata, "Benar, akan tetapi pada dirinya banyak terdapat perkataan yang tidak perlu. Perkataan yang tidak perlu adalah perkataan yang dikatakan oleh seseorang yang mana perkataan itu tidak ada manfaatnya sama sekali, baik di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya hasil pertama yang diperoleh dari perkataan yang seperti ini ialah himpitan kubur. Akan tetapi pengaruh ini adalah pengaruh yang bersifat wadh'i (pengaruh yang diletakkan karena suatu hal).

Ada peribahasa yang terkenal di kalangan masyarakat umum yang mengatakan "Perkataan benar yang tampak seperti perkataan dusta jauh lebih buruk daripada perkataan dusta yang tampak seperti perkataan benar." Tidak demikan, sebenarnya kita harus mengatakan bahwa keduanya itu buruk. Seseorang berkata dusta dengan tujuan supaya manusia membenarkannya. Sungguh ini merupakan perbuatan yang buruk dan merupakan dosa besar. Sekalipun juga seorang suami yang berdusta di hadapan istrinya, atau sebaliknya. Demikian pula manakala seseorang berbicara benar, akan tetapi orang menolak perkataannya. Karena itu dia harus berbicara dalam bentuk yang dapat dipahami oleh akal.

Namun terkadang dalam kenyataan akal kalah dengan otot dan uang. Ini dapat kita lihat di keseharian kehidupan kita. Dalam gedung-gedung terhormat sering terdapat politik dagang sapi, sehingga mereka tidak menempatkan kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sungguh mereka telah berdusta terhadap rakyatnya.
Dalam banyak riwayat dikatakan, sengatan ini (kata-kata yang melukai perasaan orang lain karena berdusta ) akan berubah menjadi kalajengking, ular berbisa dan serigala yang mengigit manusia di alam kubur dan juga di padang Masyhar dan neraka Jahanam. Sebagaimana perkataan Rumi dalam Matsnawi yang berbunyi, " Dengan perantaraan sengatan lidah anda maka anda mempersiapkan serigala-serigala yang akan mengigit anda."

Kita akhiri tulisan ini dengan sebuah doa: Ya Allah, dengan kemuliaan dan keluhuran-Mu, karuniakanlah kepada kami segenap kesadaran, sehingga kami berhati-hati di dalam perkataan kami, niat kami dan tingkah laku kami. Berikanlah taufik kepada kami untuk bisa taat dan beribadah kepada-Mu, serta mampu meninggalkan maksiat terhadap-Mu. Ya Allah, demi kemuliaan dan keluhuran-Mu, tunjukkanlah kami kepada jalan keridhaan-Mu dan cegahlah kami dari segala sesuatu yang mendatangkan kemarahan dan kemurkaan-Mu.

Read more...

MAKNA KESEDIHAN

Makna Kesedihan



Hidup manusia berayun dalam dua keadaan, antara kesedihan dan kebahagiaan. Coba perhatikan lingkungan sekitar kita seperti sahabat kita, tetangga kita atau saudara kita. Mereka akan mengalami hidup yang kadang bahagia dan kadang dilanda kesedihan. Silih berganti seperti perputaran roda, kadang di bawah kadang di atas.


Mengapa kita mengalami kesedihan? Pertanyaan ini sulit dijawab, karena terlalu subyektif, yang setiap orang mempunyai persepsinya masing-masing.. Tetapi secara umum kesedihan merupakan derita jiwa yang dapat timbul akibat hilangnya sesuatu yang kita cintai atau karena kita gagal mendapatkan apa yang kita cari. Sumbernya adalah karena kita terlalu mengagungkan nilai-nilai materi, haus pada nafsu-nafsu badani, lalu merasa rugi kalau salah satu dari itu semua hilang atau gagal kita peroleh.


Misalnya dalam kisah-kisah sejarah para nabi banyak dijumpai para penguasa yang tamak terhadap kehidupan dunia seperti kekuasaan dan harta tidak pernah merasa bahagia. Mereka selalu gelisah dalam menjaga apa yang mereka anggap miliknya itu. Kekhawatiran bangsawan Quraisy akan tergusur pengaruhnya terhadap penduduk Mekkah oleh Nabi Muhammad, dan kecemasan Firaun akan Nabi Musa as merupakan contah bahwa harta dan kekuasaan tidak dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan.


Begitu pula jika kita amati pejabat-pejabat dan orang-orang kaya di negeri ini namun tidak bahagia. Karena di tengah kekayaannya mereka harus menghadapi ‘kerangkeng besi’ dan cemoohan masyarakat. Suasana ini membawa diri mereka ke dalam situasi yang tidak bahagia walaupun di tengah timbunan harta kekayaan. Dengan demikian hanya manusia yang menganggap bahwa segala kesenangan duniawi yang telah diperolehnya bisa kekal dan senantiasa jadi miliknya, maka manusia yang demikian akan sedih dan gundah gulana karena hilangnya sesuatu yang dia cintai atau karena gagalnya ia mendapatkan apa yang dia cari.


Kalau saja manusia tahu siapa dirinya dan tahu bahwa apa saja yang ada di alam itu tidak kekal, niscaya dia tak akan lagi mendambakan dan tidak lagi mencarinya. Kita harus menyadari bahwa dunia materi tidaklah abadi, ia dapat hilang dengan tiba-tiba walaupun kita menjaga dengan hati-hati. Dengan demikian jika kita sudah tidak mendambakannya lagi, maka tak akan lagi dia bersedih hati karena hilangnya apa yang diingini atau gagal diperolehnya apa yang diangankannya di dunia ini. Seharusnya kita mengarahkan upaya ke tujuan-tujuan suci dan hanya mencari kebaikan-kebaikan kekal saja.


Dengan orientasi hidup pada tujuan-tujuan suci itu, maka kita hanya akan mengambilnya sebatas yang diperlukannya untuk menghilangkan rasa lapar, telanjang atau kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya yang serupa. Kita tidak akan menimbun harta. Kita tidak akan berfoya-foya dan berbangga ria. Sekiranya harta itu lepas dari tangan, kita tak akan menyesalinya dan tak akan mempedulikannya. Sungguh jika kita berbuat seperti itu pasti kita akan tenteram, tidak gundah gulana, akan gembira tidak bersedih, akan bahagia tidak sesak dadanya. Barangsiapa tidak menerimanya dan tidak mengobati jiwanya dengan cara ini, dia akan gelisah dan bersedih hati selamanya. Sebab dia tak pernah bisa lolos dari gagalnya memperoleh sesuatu yang dia cari, dan hilangnya sesuatu yang dia cintai.


Barangsiapa dengan berbuat baik ia merasa puas, dan dengan apa yang didapatnya tidak bersedih hati, maka dia akan gembira dan bahagia selamanya. Kalau orang meragukan, bahwa perasaan seperti ini bermanfaat, hendaknya dia merenungkan perasaan orang mengenai tujuan yang mereka upayakan dalam kehidupan mereka, dan amati bagaimana mereka berbeda-beda dalam merespon kehidupan ini berdasarkan keadaan-keadaan dan perasaan-perasaan mereka. Jika kita renungkan maka akan mengungkapkan secara jelas dan terang kehidupan mereka dalam berbagai profesi dan bagaimana perasaan mereka menanggapinya.


Kalau kita perhatikan dengan saksama beragam kelas sosial yang ada. Akan terlihat bahwa kegembiraan seorang pedagang terjadi bila dia berdagang, prajurit bila dia pemberani, penjudi bila dia berjudi, manipulator bila dia manipulasi atau banci dengan kebanciannya. Tiap-tiap orang ini berasumsi bahwa orang yang tidak seperti mereka adalah orang yang tertipu dan tidak merasakan kesenangan yang mereka nikmati. Hal ini karena setiap kelompok sangat merasa bahwa cara hidupnyalah yang benar dan karena sudah lama terbiasa dengan cara hidupnya sendiri.


Demikian pula dengan seorang pencari kebajikan yang menekuni jalur hidupnya sendiri, jika perasaaannya menjadi kuat, dan jika penilainnya tetap baik dan praktiknya terus berkelanjutan dia lebih berhak mengecap kegembiraan dibanding kelas-kelas sosial di atas yang tersesat dalam gelapnya kebodohan mereka sendiri. Dialah seharusnya yang paling bahagia di sisi Sang Maha Pemberi nikmat karena dia benar dan mereka salah, dia yakin dan mereka tidak yakin, dia sehat akalnya dan mereka tidak, dia bahagia mereka sengsara, dia sahabat Allah mereka musuh-musuh-Nya. Allah berfirman: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ditimpa kekhawatiran dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS.10:62)


Al-Kindi (796-873M), seorang filosof awal Muslim, mengungkaplan tentang makna kesedihan yang menimpa pada kebanyakan manusia. Menurutnya, kesedihan yang ditimbulkan oleh manusia dan ditimpakan pada dirinya bukanlah sesuatu yang alami. Kata al-Kindi, “Orang yang bersedih hati karena kehilangan miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang dicarinya, kemudian merenungkan kesedihannya secara filosofis lalu dia mengerti bahwa penyebab kesedihannya itu bukanlah keharusan, lalu dia saksikan banyak orang yang tidak memiliki harta itu tapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan bahagia, dia tak pelak lagi akan tahu bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya dan tidak alami.”


Ini berarti kesedihan merupakan sikap mental kita menghadapi kondisi lingkungan. Banyak orang yang dirundung kemiskinan tapi hatinya bahagia, sedangkan orang kaya hatinya belum tentu bahagia. Karena kekayaan materi belum tentu membahagiakan ruhani. Ini misalnya dapat kita saksikan orang-orang yang kehilangan anak, saudara maupun teman mereka, hingga terlihat betapa sedihnya mereka? Namun tak lama berselang, mereka pun kembali senang dan tertawa, bahagia, lalu pulih kembali seperti orang yang tak pernah bersedih hati sama sekali?


Begitu pula orang yang kehilangan harta atau benda apa saja yang didambakan manusia, yang bila benda itu hilang dia jadi kecewa dan sedih hati. Orang seperti itu akhirnya gembira, lenyap kesedihannya, lalu bahagia lagi. Kalaulah seorang yang berakal mau mengamati secara cermat kondisi yang kerap terjadi dalam masyarakat banyak di saat mereka sedih, dan mengamati sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan terlihat olehnya bahwa musibah tertentu tidak hanya menimpa dirinya saja dan bahwa akhir dari musibahnya adalah kegembiraan. Demikian pula kesedihan adalah penyakit aksidental yang sama buruknya dengan penyakit yang ditimpakan manusia atas dirinya sendiri yang tidak alami seperti penyakit fisik..


Kesadaran akan pentingnya nilai spiritual dibandingkan material ini tumbuh seiring seiring dengan pertumbuhan alamiah jiwa yang dimulai di dalam rahim, ketika Allah meniupkan ruh-Nya sendiri ke dalam tubuh. Ruh ini, yang turun melalui alam Alastu, merupakan cahaya yang murni dan hidup, sedangkan tubuh adalah tanah gelap dan mati. Penyatuan ruh dan raga membangkitkan daya jiwa, yang mencakup dua dunia, spiritual dan material. Jiwa adalah perantara yang melaluinya ruh yang murni dan transenden dihubungkan dengan raga yang fana. Ia adalah jumlah keseluruhan kehidupan dan kesadaran yang muncul pada pertemuan cahaya dan jasad. Hanya jiwa yang lebur ke dalam dunia, namun secara batin terbuka bagi Yang Tak terbatas.


Terbukanya jiwa pada Yang Tak Terbatas akan menumbuhkan sebuah kesadaran spiritual. Kesadaran inilah yang menjadikan manusia mempunyai sikap bijaksana, tidak dengki, kesadaran kemanusiaan dan berorientasi pada yang kekal dan ruhani. Dengan kesadaran seperti ini maka kita seharusnya menyadari bahwa di alam ini tidak ada yang kekal. Janganlah seperti orang yang disodori wewangian yang langka untuk dihirup baunya dan dinikmati keharumannya, tetapi dia mendambakannya dan mengira bahwa wewangian itu diberikan padanya untuk selamanya, sehingga ketika wewangian itu diambil darinya, dia bersedih hati, kecewa dan marah.


Inilah kondisi orang yang mendambakan hal yang mustahil dan orang yang kehilangan akal sehat. Inilah kondisi orang yang dengki, sebab dia ingin menguasai barang-barang dan tak membaginya kepada orang lain dan dengki adalah penyakit terburuk dan kejahatan paling busuk. Oleh sebab itui, para filosof berkata, “Barangsiapa ingin supaya musuhnya ditimpa keburukan, berarti dia penjahat!” yang lebih jahat dari ini adalah orang yang ingin agar kebaikan yang dimiliki teman-temannya sirna, berarti dia menghendaki agar temannya ditimpa keburukan.” Konsekuensi dari keburukan-keburukan ini adalah orang bersedih hati di saat orang lain memperoleh kebaikan, lalu dengki pada mereka karena mereka mendapat kebaikan. Tak soal apakah kebaikan–kebaikan itu berupa milik kita atau bukan milik kita.


Dalam hal ini dibutuhkan sebuah kesadaran akan makna hidup yang melepaskan diri dari jerat-jerat kedengkian dan rasa memiliki kedunian yang terlalu berlebihan. Sebuah kesadaran untuk membangun orientasi hidup yang lebih mengharmonisasikan hubungan antara Allah dan sesama manusia, berupa tujuan-tujuan yang berjiwa kesucian.

Read more...

MANIFESTI ASMAUL HUSNA

Manifestasi Nama-Nama Allah



Dalam prinsip-prinsip ajaran sufi, pendekatan tipikalnya adalah mengembalikan sesuatu kepada Allah. Inilah yang merupakan inti dari ajaran tasawuf yang bersumberkan dari al-Quran. Sebagaimana yang tertera dalam prinsip Islam yang paling utama, yakni prinsip keyakinan dan pemahaman “Tidak ada tuhan kecuali Allah”, ini berarti memandang segala sesuatu sebagai memiliki hubungan yang sangat erat dengan Sumber (Tuhan) mereka.

Pandangan ini, misalnya, dapat kita temui dalam syair-syair ‘Abd al-Rahman Jami (w.1492 M), seorang tokoh sufi terkenal yang menulis tentang eksistensi Allah:


Tetangga, kawan karib, pengembara setia-semuanya adalah Dia.


Di gubuk si Miskin, di peradaban raja- semuanya adalah Dia.


Di pesta perpisahan dan perjumpaan ,


Semuanya adalah Dia, demi Allah- demi Allah, semua adalah Dia!



Dalam syairnya itu, terkesan ungkapan bernuansa panteistik yakni keyakinan bahwa keseluruhan makhluk identik dengan Allah. Namun bagi kaum sufi semacam Jami, memandang seruan semacam itu sebagai ungkapan retorik yang bertujuan menyadarkan jiwa manusia yang lalai agar kembali melupakan bahwa –pada salah satu makna “Semua adalah Dia”- untuk keadaan kita sekarang yang lebih benar ada adalah Dia”.


Pandangan ini berprinsip bahwa segala sesuatu mencerminkan cahaya Tuhan. William C. Chittick mempunyai penjelasan menarik tentang ini. Menurutnya, cara paling sederhana untuk memahami semua ini adalah menganalogikannya dengan matahari dan sinarnya. Matahari berhubungan dengan Allah dalam diri-Nya sendiri (disebut “Dzat” dalam teologi Islam). Spektrum cahaya yang muncul dari matahari berhubungan dengan nama-nama Allah (juga disebut “sifat-sifat-Nya”). Warna dan bentuk yang tampak di dunia dan terjadi karena pantulan cahaya itu merupakan “tanda-tanda” Allah. Sama halnya dengan cahaya yang menerobos masuk ke dalam ruangan merupakan perbuatan matahari, maka demikian pula halnya semua makhluk –sebatang pohon, seekor burung, sungai, gunung – merupakan perbuatan Allah.


Ada sebuah pertanyaan yang mengusik pikiran kita. Bagaimana jika seandainya Allah tidak pernah menciptakan dunia? Nama-nama itu tentu tetap berada dalam lemari perbendaharaan. Tak ada yang bereksistensi kecuali cahaya murni yang membutakan, dengan tak ada satu pun makhluk yang melihatnya dan tak ada yang bisa dilihat. Menurut Ibn Arabi, nama-nama Allah merupakan kemungkinan-kemungkinan kreatif yang tersembunyi di dalam Dzat Allah, yang dalam ayat al-Quran disebut “khazanah”, “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (QS. al-Hijr:21)


Kesadaran bahwa wujud alam ini merupakan cermin cahaya-Nya dapat memberikan pencerahan pandangan pada diri manusia. Pencerahan ini meliputi sebuah kesadaran yang menunjukkan kebesaran dan keagungan eksistensi-Nya. Peniadaan selain-Nya merupakan wujud pengakuan akan kerendahan eksistensi kemanusiaan. Di sinilah timbul rasa kekaguman dan merasa rendah pada eksistensi yang Maha Mutlak. Kesadaran akan pandangan ini menimbulkan skap yang jauh dari kesombongan, karena ia sadar bahwa tidak ada eksistensi selain-Nya.


Dalam syairnya, Rumi membandingkan alam semesta dengan arus air yang mengalir, “yang di dalamnya terdapat kilauan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa.” Katanya,


Dunia adalahbuih, sifat-sifat Allah adalah samudra-


Buih menghalangimu dari kejernihan samudra!


Demikian pula pemikir sufi termasyhur, Ibn Arabi mempunyai pandangan yang mirip dengan Rumi. Ibn Arabi menjelaskan bahwa “keseluruhan kosmos merupakan wahana manifestasi sifat-sifat Allah.” “Pada hakikatnya,” kata Ibn Arabi, “tak ada yang bereksistensi kecuali nama-nama-Nya.” Pemkiran Ibn Arabi mempunyai nalar yang dapat diurut dengan sangat jelas. Dia mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, segala sesuatu memanifestasi Allah, segala sesuatu menjadi tanda Allah, segala sesuatu mencerminkan Allah, segala sesuatu itu bukanlah selain-Allah, “Semuanya adalah Dia”. Atau seperti yang dinyatakannya, “Tak ada yang bereksistensi kecuali Allah. Keberadaan kita pun terjadi melalui Dia. Mereka yang bereksistensi melalui sesuatu yang lain pada hakikatnya tidaklah bereksistensi.


Dengan kata lain, penjelasan ini mengatakan bahwa semua makhluk meminjam eksistensi dan sifat-sifatnya dari Allah dan bahwa, pada hakikatnya, mereka “tidak bereksistensi”. Ini dapat kita contohkan, kita dapat melihat bahwa warna dan bentuk yang kita persepsikan di mana-mana tidak lain merupakan eksistensi dan sifat-sifat cahaya. Jika kita mencermati objek-objek, kita cenderung memandangnya sebagai sesuatu yang independen dan ada dengan sendirinya.Akan tetapi, kita mengetahui bahwa yang kita persepsikan hanyalah cahaya- yang telah diberi warna tertentu oleh warna lain yang tidak tampak. Dengan demikian, satu berkas cahaya terlihat oleh kita dalam berbagai warna. Melalui cara serupa, satu-satunya yang kita persepsikan dalam ciptaan hanyalah hakikat Allah. Akan tetapi, jejak-jejak dan isi nama-nama maupun sifat-sifat Allah tampak kepada kita dalam keragaman wujud dan bentuk yang tak terbatas dan semua ini disebut “makhluk”. Seperti yang dinyatakan Jami:


Segala entitas merupakan jendela dengan banyak warna,


Di atasnya jatuh sinaran matahari Wujud.


Entah jendela-jendela itu merah, biru atau kuning,


Matahari tetap menampakkan dirinya berwarna-warni.


Lalu bagaimana manusia dalam hal ini dibandingkan dengan makhluk lainnya yang juga merupakan cermin cahaya-Nya. Allah menciptakan manusia dalam citra-Nya sendiri atau untuk lebih mendekati ungkapan Arabnya, “dari bentuk-Nya. Kaum sufi sering menafsirkan ini sebagai mengandung arti bahwa manusia adalah wadah yang di dalamnya nama-nama Allah mempertontonkan jejaknya sebagai sebuah kesatuan yang integral, seperti halnya alam semesta memanifestasikan esensi nama-nama dalam kilauan cahaya yang berpendar tanpa batas. Perbedaan antara manusia dan makhluk lain adalah bahwa masing-masing kita diciptakan dari bentuk Allah itu sendiri. Karena itu, setidak-tidaknya kita memiliki potensi untuk memamerkan jejak-jejak dan isi semua nama Allah sebagai kesatuan yang koheren dan integral. Makhluklain juga memanifestasikan nama Allah, namun tidak semuanya. Hanya manusia yang memanifestasikan semua mutiara dari Khazanah Tersembunyi, karena itu mereka dapat mengetahui jumlah keseluruhan Perbendaharaan itu.


Karena tercipta menurut bentuk Allah, manusia berpotensi untuk ikut memiliki kesadaran menyeluruh tentang jejak maupun isi nama-nama Allah yang keluasannya tiada terbatas. Al-Quran sering mengungkapkan keherannya kepada orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda di alam semesta maupun diri mereka sendiri, namun mereka tidak menyadari bahwa segala sesuatu diciptakan dalam transformasi dan perubahan, bahwa semua mengarah pada kesadaran utuh tentang hakikat segala sesuatu. Kematian dan kebangkitan adalah dua tahapan lanjut dari pertumbuhan yang berawal di dalam rahim. Allah berfirman: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging… dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (secara berangsur-angsur) sampailah kamu kepada kedewasaan.” (QS. al-Hajj:5)


Kaum sufi memandang tahapan-tahapan kehidupan fisik sebagai tanda-tanda lahir dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa. Rumi terkenal karena deskripsina tentang pertumbuhan jiwa dari suatu tahap yang secara praktikal tidak bernyawa kepada tahap lain yang mengungguli malaikat. Fakta bahwa jiwa naik tahap demi tahap menjelaskan mengapa –meskipun “semua adalah Dia” – tidak ada seorang pun yang benar-benar menyadari hal ini tanpat mencapai kesempurnaan. Selama orang tidak melewati tahapan-tahapan moral dan pertumbuhan spiritual, mereka tetap buta terhadap hakikat diri mereka sendiri.


Manusia dalam melakukan perjalanan spiritual di mulai dari titik nol. Yang dalam tradisi tasawuf, perjalanan menuju kesempurnaan dimulai dalam “ketiadaan” bersama Allah. Ketika manusia mendengar perintah “Jadilah” dan mengakui Allah pada Perjanjian Alastu, mereka turun derajat demi derajat hingga memasuki rahim, yang merupakan tempat paling jauh dari Sumber. Kemudian mereka mulai naik menuju Allah, karena segala sesuatu akan kembali kepada-Nya, seperti halnya segala sesuatu berasal dari-Nya. Kedua perjalanan itu –yakni dari Allah menuju dunia dan dari dunia menuju Allah- sering disebut, menurut Chittick, dua ‘busur’ dari Lingkaran Eksistensi.


Pertumbuhan spiritual manusia dapat dilihat dari perkembangan manusia itu sendiri. Banyak sufi (maupun kalangan filosof Muslim) membandingkan bayi dalam tahapan awalnya dengan objek tak bernyawa atau mineral. Sedikit demi sedikit esensi kehidupan kehidupan dan indra muncul di dalamnya hingga mencapai tahapan tumbuhan. Pada waktu seorang bayi dilahirkan, ia telah menerima semua sifat hewani, meskipun dalam taraf yang tidak sempurna. Begitu masuk masa pubertas, yakni ketika daya tertinggi manusia –kecerdasan dan kemampuan berbicara- mulai memperlihatkan kemungkinan-kemungkinannya, seseorang telah dapat disebut “manusia”, meskipun belum secara utuh. Sebenarnya kita masih belum menjadi manusia seutuhnya kecuali jika kita mencapai kesadaran utuh tentang nama-nama Allah yang ada di dalm diri kita sendiri.


Perjalanan spiritual manusia ini merupakan perjalanan kesempurnaan. Dalam hal ini, manusia memiliki dua kesempurnaan. Pertama, kesempurnaan yang dapat dikatakan bersifat “alamiah” dan membawanya pada kematian fisik, kebangkitan dan pertemuan dengan Allah. “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS. al-Insyiqaq:6). Kedua, kesempatan yang hanya bisa dicapai melalui usaha sukarela untuk menumbuhkan jiwa. Dari sudut pandang pertama, manusia terpaksa tumbuh dan mati, namun dari sudut pandang kedua, mereka bebas memilih jenis eksistensi apa yang akan mereka rasakan pada tahapan selanjutnya di alam akhirat.


Kebebasan melakukan pilihan eksistensi inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Selama pertumbuhan jiwanya, jejak-jejak nama Allah secara perlahan menampakkan dirinya sendiri. Ini terlihat dengan perubahan dari pandangan dan perbuatan manusia itu. Jadi manusia yang telah tercelup oleh cahaya Allah, akan memberikan eksistensi dirinya untuk Allah (karena memandang dirinya tak berarti di hadapan-Nya), dengan jalan membangun dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan di antara manusia.

Read more...

ANGKA PERCERAIAN

Meminimalisir Angka Perceraian dan Penyelewengan


Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar menegaskan wacana nikah tak tercatat dipidana tersebut adalah dalam rangka upaya untuk meminimalisir angka perceraian dan penyelewengan dalam pernikahan.

Pernikahan adalah stau sang sakral dan agung. Dalam UU Kependudukan dan UU Perkawinan sudah mewajibkan suatu perkawinan dicatatkan. Namun di kedua UU tersebut tidak mengatur sanksinya. Nah, wacana ini karena dua UU tersebut tidak mampu menekan angka perceraian dan penyelewengan, tegas Nasaruddin di Jakarta, Senin (22/2).

Nasaruddin mengatakan 48 persen dari 80 juta anak yang lahir, yaitu lahir dari proses perkawinan yang tidak tercatat. Itu sekitar 35 juta anak. Konsekuensinya, mereka akan sulit mendapatkan surat lahir, Kartu penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris dan masih banyak lagi, ungkap Nasaruddin.

Selain itu Nasaruddin juga mengungkapkan, dari dua juta perkawinan pertahun, terdapayt 200.000 pereraian. Masalah-masalah seperti ini tentunya perlu mendapatkan perhatian khusus, tambah Nasaruddin.

Dia memaparkan dalam draf, sangat menjunjung tinggi perkawinan sebagai suatu yang sangat sakral. Dalam draf juga sama sekali tidak ada menyebutkan nikah siri, namun nikah tidak tercatat.

Sebelumnya Menteri Agama H Suryadharma Ali mengatakan ada suatu kebutuhan untuk mengatur masalah nikah sirri, poligami, kawin kontrak dan sebagainya dalam suatu Undang-Undang.

Ada kebutuhan untuk itu. Tapi seperti apa dan kapan, belum bisa saya sampaikan. Karena khan harus ada RUU-nya dan RUU itu harus dibahas berdasarkan kajian akademis dan masukan dari berbagai pihak dan harus ada pembahasan secara interdept, papar Menag.

Menag menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan setiap pengaturan hak dan kewajiban negara termasuk pembatasan-pembatasan hak warganegara harus berdasarkan atas hukum dan harus ditetapkan dengan UU. Diakui Menag bahwa selama ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi hukum dalam memutus sengketa orang islam termasuk dalam hal perkawkinan belum sesuai dengan UUD 1945, karena didasarkan kepada Instruksi Presiden No 1 tahun 1991.

Dia menjelakan KHI terdiri atas tiga buku, yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Buku III tentang Hukum Perwakafan telah ditingkatkan menjadi UU No 41 tentang wakaf. Sementara buku I tentang hukum perkawinan dan buku II tentang hukum Kewarisan masih belum ditetapkan dengan UU, tambahnya.

Karena itu ada kebutuhan untuk meningkatkan status Kompilasi Hukum Islam pada kedua hal tersebut, yaitu Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan menjadi UU, tandas Menag.
Saat ini Kementerian Agama, kata Menag, terus melakukan sosialisasi terkait pernikahan yang belum dicatatkan. Kami terus lakukan sosialisasi sampai ke pelosok-pelosok pedesaan agar bagi mereka yang pernikahannya belum dicatatkan, agar dicatatkan, tandas Menag .

Selain itu, lanjutnya, Kementerian Agama juga akan kerap menyelenggarakan nikah massal. Kami akan kerap menyelenggarakan pernikahan massal di berbagai daerah, terutama bagi yang tidak mampu, papar Menag.

Read more...

SKANDAL CENTURY

Skandal Century: Transparansi yang Misterius
Oleh Taufiq Saifuddin

EPISODE baru kasus Bank Century telah menjadi tanggungjawab DPR melalui panitia angketnya. Jika kita melihat kronologisnya, episode panjang kasus ini dimulai sejak tahun 2003, hingga pada tahun 2004 Bank CIC merger bersama Bank Danpac dan Bank Pikko yang kemudian berganti nama menjadi Bank Century.

Sampai kapan kasus ini akan menemukan titik temu? Semua mata kini tertuju pada kasus ini, bahkan program 100 hari Pemerintahan SBY-Budiono dinilai digagalkan oleh kasus century.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mengucurkan dana sebesar Rp6,7 triliun kepada Bank Century atas rekomendasi pemerintah dan Bank Indonesia. Padahal, dana yang disetujui DPR hanya sebesar Rp1,3 triliun. Misteri itulah yang ditindaklanjuti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi terhadap bank.

Tidak hanya KPK, DPR pun meminta BPK mengaudit proses bailout tersebut. Itu karena sebelumnya DPR pada 18 Desember 2008 telah menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) sebagai payung hukum dari penyelamatan bank milik pengusaha Robert Tantular itu.
Panitia angket DPR atas kasus century telah dibentuk, namun kejelasan akan kasus penyelewengan uang negara sebesar Rp6,7 Triliun tak kunjung mampu diselesaikan. Bagai sandiwara, sejumlah tokoh yang dianggap memiliki kaitan dengan kasus tersebut telah diundang DPR untuk dimintai kesaksian.

Tarik ulur kepentingan masih sangat terlihat jelas di tubuh panitia angket century yang berimbas pada pelemahan upaya pengungkapan skandal besar ini.
Masyarakat telah lelah dengan skenario politik yang tidak jelas ujung pangkalnya ini. Proses panjang yang melelahkan dan ongkos sosial yang tidak murah harus kembali ditanggung oleh bangsa ini. Kemelut yang terus bergejolak seolah menjadikan perbincangan kasus ini hanya menjadi sebuah wacana yang kesulitan menemukan eksistensinya.
Akal sehat kembali terusik, sejumlah keganjilan semakin menguatkan adanya upaya politisasi penanganan kasus Bank Century oleh panitia angket.

Sandiwara Politik Pansus Century
Dari sekian banyak saksi yang dipanggil oleh DPR, masih menimbulkan pertanyaan yang sangat mengusik. Dasar pertimbangangan pemanggilan pihak-pihak terkait seolah berpihak pada satu kepentingan tertentu.

Hal ini ditandai dengan tidak dipanggilnya pihak-pihak yang sebenarnya justru bisa menjadi saksi kunci atas pengungkapan kasus Bank Century agar menjadi terang dan jelas.
Patut dipertanyakan mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama sekali tidak dipanggil, padahal KPK adalah institusi hukum pertama yang mengendus indikasi korupsi di Bank Century dan meminta audit investigatif kepada BPK.

Kini masyarakat menjadi bingung, akan kemana untuk mengadu sehingga kasus ini dapat terselesaikan dengan cepat dan tepat. Panitia angket dalam hal ini harus betul-betul bersifat obyektif, dan menjauhkan diri dari kepentingan politik yang seolah-olah ingin menutupi keganjilan dalam penyelesaian kasus ini.

Kesamaan pandangan panitia angket akan pelanggaran UU terkait bailout century seharusnya menjadi modal untuk terus menggali informasi yang lebih mengkerucut pada proses penyelesaian skandal besar ini.

Jika Pansus tidak mampu menjawab sejumlah keganjilan di atas yang mengusik rasa keadilan dan bertentangan dengan akal sehat masyarakat, mungkin publik secara berbondong-bondong akan melakukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah.

Sehingga pemerintah menjadi penguasa namun tidak memiliki kekuasaan disebabkan nalar publik telah dikriminalisasi oleh para penguasa dan segelintir elit politik melalui sandiwaranya.
Sekarang tugas kita sebagai bagian dari masyarakat adalah terus melakukan pengawalan terhadap penuntasan kasus ini. Semoga geliat sosial yang terjadi di masyarakat menjadikan para pimpinan negeri ini untuk berbuat lebih banyak lagi untuk rakyatnya.

Menanti Reformasi Jilid II
Skandal Century ini telah membuat lebih dari 200 anggota DPR menandatangani usul Hak Angket. DPR menilai, ada fakta tersembunyi di balik pengucuran dana talangan yang tiga kali lipat lebih banyak dari yang disetujui parlemen.

Namun, yang juga harus dikawal lebih jauh oleh masyarakat adalah proses penyelidikan oleh panitia angket DPR, bahwa proses ini akan berlangusng lama.
Hasil penyelidikan pun selanjutnya akan melahirkan rekomendasi atas siapa saja yang terlibat dalam talangan dana tersebut, dan selanjutnya diproses lagi oleh pihak yang berwenang, bisa

KPK, Kepolisian ataupun Kejaksaan.
Jika proses pengusutan skandal Bank Century tidak mampu merekomendasikan apa-apa dan akan berakhir sama dengan kasus BLBI, maka hal ini akan kembali membuka luka lama masyarakat akan kinerja lembaga negara yang sangat lemah.

Momentum ini seharusnya menjadi saat yang tepat untuk bersinergi antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, ketiga institusi ini harus memanfaatkan skandal Bank Century untuk memperbaiki kinerja mereka.

Lemahnya ketegasan Presiden semakin memperkeruh persoalan ini, sikap hati-hati yang selalu ditunjukkan oleh presiden menjadikan proses penyelesaian skandal Bank Century semakin jauh dari titik terang.

Hal ini mengindikasikan banyak pihak yang mencurigai keterlibatan presiden dalam kasus bailout Bank Century. Langkah konkrit presiden sangat dinanti oleh masyarakat untuk sesegera mungkin turun gunung untuk menyelesaikan kasus century, jika tidak maka people power sudah menanti.

Read more...

REFLEKSI MAULID NABI SAW

Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW
Memaulidkan Kejujuran

Oleh: Mahmudi Asyari

BANYAK hikmah yang telah dibahas berkaitan dengan peristiwa maulid (hari lahir) Nabi Muhammad SAW. Satu hal yang mendasar, namun sering tidak dijadikan mainstream, ialah soal kejujuran.

Sejarah telah mencatat bahwa sebelum risalah Islam diterima beliau, Muhammad kecil tidak ubahnya anak-anak dan remaja pada umumnya meski sejumlah pihak sudah mulai melihat tanda-tanda kelebihan pada diri beliau. Namun, satu hal yang sangat menonjol pada diri Muhammad kecil adalah kejujuran. Ketika beliau belum menerima wahyu, sikap itu telah menjadi pemersatu sekaligus penengah pertentangan para elite Makkah ketika akan meletakkan Hajar Aswad seusai pemugaran Ka'bah. Dari peristiwa itu pulalah gelar al-amin (orang tepercaya) disandangkan ke Nabi Muhammad SAW.

Dengan memperhatikan kenyataan sejarah tersebut, ketika antusias memperingati maulid, umat Islam semestinya bertanya terhadap diri masing-masing, apakah nilai-nilai luhur nabi sejak sebelum menjadi utusan Allah telah menjadi bagian dari hidup mereka? Hal itu sangat penting, mengingat nilai itulah yang pertama ada sekaligus dipraktikkan oleh beliau sehingga mendapatkan sebutan al-amin.

Ketika sudah diangkat menjadi Rasul Allah, kejujuran tetap menjadi mainstream ajaran Islam meski sejak itu sudah ada syariat lain, seperti ibadah, hukum, tauhid, dan lain-lain. Namun, kejujuran tetap beliau tekankan melalui sabda beliau, ''Innama bu'itstu li utammim al-'akhlaq (saya diutus untuk menyempurnakan akhlak [moral]).

Secara kebahasaan Arab, kata innama mengandung arti ikhtishash (kekhususan) yang memberikan kesan itulah mainstream ajaran Islam, paling tidak, jika dirujuk kepada praktik jahiliah ketika itu. Jahiliah tidak bisa diartikan dengan bodoh karena orang-orang Arab ternyata secara ilmu tidak bodoh, tapi merujuk kepada praktik tidak bermoral. Pangkal utama moral (akhlak) adalah kejujuran.

Setiap diri manusia dibekali dhamir (suara hati) yang senantiasa membisikkan kebenaran agar setiap manusia berperilaku benar sesuai dengan bisikan tersebut. Dan, jahiliah ketika itu adalah ketidakhirauan atas bisikan kebaikan tersebut. Sehingga, dengan dalih untuk tidak terkena aib, jika istrinya melahirkan anak perempuan, (bayi itu) dikubur hidup-hidup ('istihya'). Mungkin, kalau sekarang, samalah dengan perangkat desa yang -agar tidak ada rakyatnya yang berkategori miskin- justru mengusir rakyat itu, bukan membantu mereka agar terhindar dari kemiskinan.

Masih dalam konteks akhlak (kejujuran) itu, beliau kemudian bersabda yang maksudnya adalah bahwa ketidakjujuran (kadzib) pangkal (ra's) segala dosa. Dan, sikap itulah yang dipraktikkan ketika ada seorang datang minta nasihat agar berhenti mencuri di mana profesi itu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Nabi cukup menjawab, ''La takdzib" (jangan bohong). Mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan dalam hatinya barangkali berkata, ''Kecil"!

Namun, alangkah terkejutnya si pria itu, ketika akan mencuri, dia tersentak oleh nasihat beliau tersebut. Hati kecilnya merasa bahwa itu tidak benar sehingga kemudian dia melapor kepada Nabi Muhammad SAW bahwa dirinya tidak akan mencuri lagi.

***

Perintah jangan berdusta tersebut memang kecil. Namun, akibatnya sangat besar. Sebab, jika melakukan hal itu, seseorang tidak hanya mempunyai nama baik, tapi juga bisa memperbaiki keadaan yang sudah parah.

Para pemimpin Indonesia, bangsa yang selalu mengklaim mempunyai nilai luhur, sebaiknya becermin apakah tindakan mereka sudah benar-benar dilandasi moral (akhlak) yang basis utamanya adalah kejujuran? Kejujuran di saat Indonesia karut marut seperti saat ini -salah satunya termasuk kasus Bank Century- dirasa sangat penting untuk memperbaiki keadaan bangsa yang sudah semrawut.

Menurut fakta, Indonesia termasuk salah satu negara produsen hukum (undang-undang) terbesar di dunia. Jika ditambah aneka peraturan di luar undang-undang seperti perppu dan aturan lain di bawahnya sampai tingkat kabupaten/kota, (Indonesia) bisa menjadi negara terbesar di dunia dalam hal memproduksi peraturan perundang-undangan. Namun, kenapa hal itu tidak juga bisa membuat bangsa ini keluar dari kesemrawutan tersebut?

Hukum sebanyak dan sebaik apa pun tidak akan sanggup mengubah ''kejahiliahan'' bangsa ini. Sebab, jika hanya dipahami secara formal, hukum hanya akan menjadi seperti pohon kering yang tidak bisa menaungi dan memberikan kesejukan. Malah, bisa jadi, orang-orang yang tidak bernurani merasa mempunyai celah untuk mencari pembenaran dengan melakukan tafsir terhadap peraturan perundang-undangan yang ada.

Oleh sebab itu, untuk menjadikan aneka peraturan yang sudah menjadi hutan belantara tersebut, tidak ada pilihan lain selain memaknainya dengan moral dan nilai kejujuran agar sebuah aturan tidak malah menjadi alat pembenaran sebuah kesalahan.

Berkaitan dengan hal itu, mengingat pemimpin negeri ini mayoritas muslim dan mayoritas juga tidak menentang maulid, seharusnya nilai dasar ajaran Nabi Muhammad SAW, yaitu kejujuran, menjadi titik tolak perenungan dan evaluasi. Apakah selama ini kita telah menerapkan nilai yang beliau jadikan dasar untuk membuat perubahan di sebuah komunitas yang tadinya merupakan tempat paling tidak bermoral di dunia tersebut?

Perenungan ajaran kejujuran itu juga sangat penting bagi mereka yang sedang menjadi anggota pansus saat ini. Dengarkanlah suara hati nurani yang senantiasa membisikkan kebenaran, bukan mengedepankan pertemanan tanpa batas. Jadikanlah bisikan nurani tersebut sebagai basis kepentingan jika memang berkomitmen untuk Indonesia yang lebih baik. Mari peringati maulid, segarkan perilaku bermoral kita! (*)

*). Dr Mahmudi Asyari , pemerhati masalah sosial keagamaan

Read more...

Politik parpol

Parpol Mainkan Politik Dramaturgi

Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan banyak parpol yang sebenarnya tengah memainkan ''politik dramaturgi'' atau sandiwara politik dalam pusaran Century. Di satu sisi, sebagian elite tetap menampilkan kesan kritis karena tidak ingin kehilangan muka di tengah masyarakat.

Elite yang lain dari parpol yang sama terus membangun komunikasi politik dan melakukan negosiasi di belakang layar. ''Jadi, mereka sebenarnya tahu sama tahu dan saling memahami kompleksitas politik di internal partai masing-masing,'' kata Burhan di Jakarta kemarin (27/2).

Secara terbuka, Buhan menyatakan tidak begitu yakin bahwa Amien Rais tidak mengetahui keputusan PAN untuk tidak menyebut nama pejabat yang paling bertanggung jawab dalam pandangan akhir fraksi. Menurut Burhan, Hatta Rajasa pasti sudah memberikan semacam ''brifing'' mengenai arah sikap PAN.

''Meskipun pandangan fraksi sudah jelas pro-Demokrat, Amien Rais tetap diberi ruang seluas-luasnya untuk membangun citra PAN yang sangat kritis. Ini politik dua wajah,'' ujarnya.

Model permainan politik yang penuh sandiwara itu, tegas Burhan, juga dimainkan FPPP. Ada anggota pansus yang keras, ada juga elite partai yang bersikap lunak. ''Mereka sebenarnya tahu sama tahu peran masing-masing,'' ujar peneliti senior di Lembaga Survei Indonesia (LSI) itu.

Konflik yang cukup riil, menurut Burhan, muncul di FPKB. Dia mendengar kelompok Marwan Jafar (ketua FPKB) beserta Lili Wahid sangat kecewa dengan pilihan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar yang dianggap terlalu pro-SBY.

Partai Golkar, sambung dia, juga rawan dengan friksi internal. Tidak seperti parpol lain, Golkar mempunyai banyak elite yang tidak terlalu dominan antara satu sama lain. Kubu Agung Laksono dan Akbar Tandjung cenderung meminta Golkar tidak terlalu konfrontatif. Sebaliknya, kubu Aburizal Bakrie atau Ical justru sangat konfrontatif.

''Kabarnya, saat pandangan akhir fraksi, Golkar menyiapkan lebih dari dua draf. Mana yang dikeluarkan tergantung perkembangan terakhir di luar,'' kata Burhan.

Menurut Burhan, ending friksi-friksi itu tergantung pada hasil sidang paripurna. Kalau sidang paripurna dimenangkan kubu Demokrat, faksi-faksi yang sebelumnya tidak satu pendapat dengan jalur mainstream akan mengikuti ijtihad itu.

Read more...

Pansus Century

Perpecahan Parpol dalam Pusaran Pansus Century
Antara Koalisi dan Konstituen

Pansus Century bagaikan tsunami. Bukan hanya koalisi pemerintah yang pencah. Internal partai pun retak dalam menyikapi panggung politik yang paling menggegerkan saat ini itu.

---

Taufik Kiemas, suami Mega yang kini duduk sebagai ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP, sering mengambil jalan lain berbeda dengan rekan-rekan yang duduk di pansus Century. Saat Maruarar Sirait dan Gayus Lumbuun sangat bersemangat menyebut nama langsung Boediono dan Sri Mulyani sebagai penanggung jawab bailout Rp 6,7 triliun, Kiemas justru berusaha menghalangi.

Sehari sebelum pandangan akhir fraksi itu, Kiemas berusaha mengingatkan rekan-rekannya bahwa tida ada urgensi menyebut nama. Tapi, apa lacur, Maruarar Sirait yang membacakan pandangan fraksi tetap menunjuk hidung Boediono dan Sri Mulyani.

Bila dirunut ke belakang, sikap Kiemas itu tak lepas dari upayanya agar PDIP membangun koalisi dengan SBY. Itu dilakukan sejak pilpres lalu, menjelang pembentukan kabinet. Keinginan Kiemas itu tampak hingga kini belum padam.

Saat PDIP aktif mendorong pengajuan hak angket Century, Kiemas ternyata tidak ikut membubuhkan tanda tangan. Padahal, Megawati secara langsung telah menginstruksi FPDIP agar mendukung total. Belakangan Kiemas kembali melontarkan wacana koalisi PDIP-Demokrat. Saat pemeriksaan pansus hampir klimaks, berkembang isu bahwa PDIP kembali ditawari enam kursi menteri.

Anggota pansus dari FPDIP Maruarar Sirait mengatakan, arahan agar kasus Century dibongkar bukan saja keputusan DPP partai, tapi juga salah satu rekomendasi rakernas PDIP. ''Ini bersifat mengikat,'' kata Maruarar.

Dengan nada agak jengkel, dia juga menegaskan bahwa kalau ingin membaca arah PDIP, rujukannya harus tetap kepada Megawati. Menurut dia, konsistensi Megawati tak pernah tergadaikan. Dia mencontohkan, menjelang pilpres, ada opsi bagi PDIP untuk berkoalisi dengan SBY. Tapi, itu ditolak. Pascapilpres muncul juga wacana masuk pemerintahan. Kembali Megawati memutuskan tetap di luar.

''Jadi, ke mana busur ditarik dan dilepaskan hanya satu orang yang berhak, yakni Megawati. Kalau mau membaca PDIP, harus ke situ,'' tegasnya.

Benturan sikap elite juga muncul di PAN. Contoh kasus yang paling ketara lagi-lagi soal sebut nama atau tidak dalam pandangan akhir fraksi. Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PAN Amien Rais meminta FPAN menyebut nama pejabat yang dianggap paling bertanggung jawab.

''Namanya hidup dalam alam konkret, bukan alam siluman atau misteri, harus ada nama, ada jabatan, dan tanggung jawab,'' kata Amien.

Taushiyah dari Amien itu ternyata tidak berpengaruh. Sikap FPAN yang dikendalikan Ketua Umum DPP PAN Hatta Rajasa memilih tidak menyebut nama.

Amien sendiri ternyata ''terperangkap'' di antara perasaan kecewa dan bisa memahami. Menurut Amien, Hatta memang sangat dekat dengan SBY. Bahkan, Hatta mempunyai tugas berat untuk menempatkan koalisi dalam satu barisan.

''Pak Hatta kan mantan ketua tim sukses SBY. Jadi, saya tidak bisa intervensi lebih jauh. Saya hanya ketua MPP (majelis pertimbangan partai, Red),'' tutur Amien tentang kondisi partainya itu.

Sewaktu dikonfirmasi tadi malam, Ketua DPP PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan, tidak ada perbedaan antara sikap ketua DPP dan ketua MPP. ''Prinsipnya sama kok,'' katanya.

Menurut dia, dalam pandangan akhir, FPAN menyatakan bahwa dalam proses akuisisi dan merger Bank Century memang terjadi tindak pidana perbankan. Dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penyertaan modal semntara (PMS), ada kelalaian BI sehingga terjadi penyimpangan. FPAN juga meminta semua temuan itu diusut secara hukum.

''Bagi PAN, biarlah lembaga peradilan yang menyelesaikan secara hukum. Makanya, kami tidak sebut nama. Meskipun, tidak ada larangan untuk sebut nama,'' katanya.

Viva menegaskan, tidak ada perpecahan antara Amien dengan Hatta. ''Keduanya rukun, sinergis, dan solid. Tidak akan gampang dipecah hanya gara-gara Century,'' tandas sekretaris FPAN di DPR itu.

Di Partai Kebangkitan Bangsa, perbedaaan pandangan juga secara terbuka muncul ke publik. Secara umum, sikap partai pemilik 28 kursi itu cenderung selaras dengan Partai Demokrat. Mulai kebijakan bailout hingga keputusan penyebutan nama pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atas skandal yang melibatkan uang negara Rp 6,7 triliun itu.

Namun, berbeda dengan sikap partai, anggota Tim 9 (insiator) Hak Angket Century Lily Chadijah Wahid memilih jalur berbeda. Bahkan, anggota Komisi I itu juga tak ragu mengkritik keras kebijakan partai yang dianggap tak berani kritis terkait kasus Bank Century selama ini.

Sikap Lily yang berbeda dengan sikap partai itu sulit dilepaskan dari ketegangan di internal partai itu selama ini. ''Kalau dibilang kecewa, ya tentu kecewa. Tapi, bagaimana lagi, ketua umumnya tidak berani kritis,'' ujar Lily, yang sudah diberhentikan dari jabatan wakil ketua Dewan Syura DPP PKB itu.

Di PPP demikian juga. Beberapa tokohnya kerap berbeda dalam memberikan pandangan. Misalnya, saat memberikan penilaian bahwa kebijakan bailout bermasalah atau tidak. Ketua Fraksi Asman Hasrul Azwar berkali-kali menyatakan bahwa kebijakan memberikan dana talangan itu sudah tepat. Namun, anggota pansus sekaligus Wasekjen DPP PKB Romahurmuziy justru kerap menyatakan berbeda.

Namun, berbeda dengan kondisi di PKB, kedua pihak tersebut sama-sama membawa bendera resmi partai. Spekulasi bahwa sikap PPP seperti berdiri di dua kaki itu adalah strategi untuk bermain aman sulit dihindari. Yaitu, antara kepentingan menjaga konstituen dan komitmen koalisi. ''Kami memang berada di posisi sulit. Sebagai partai koalisi, tekanan dari konstituen agar kritis di Century juga sangat kencang,'' ujar Wakil Ketua Umum DPP PPP Chozin Chumaidy. Bisa jadi, jawaban Chozin ini tampaknya juga melanda partai lain.

Read more...

Faktor Figur dalam PILKADA

Figur Dinilai Lebih Menentukan

DUKUNGAN parpol masih dianggap sebagai modal utama untuk meraih suara. Parpol masih diharapkan menjadi wadah penyerap aspirasi publik. Meski, dalam pil­kada, dukungan parpol kerap tidak ber­banding lurus dengan perolehan suara.

Paling tidak begitulah opini guru besar ilmu politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Mas'ud Said. Berdasar hasil penelitiannya di berbagai pilkada di Jatim, 60 persen pemilih menentukan kandidat berdasar figurnya. "Parpol me­mang masih berfungsi. Tapi, dalam pil­kada, parpol bukan penentu utama. Mak­simal, hanya 40 persen," katanya.

Salah satu faktor utama yang diungkapkan Mas'ud adalah budaya transaksional di kalangan parpol dalam menentukan kandidat. "Banyak kasus penentuan kandidat di sebuah partai berujung konflik gara-gara unsur transaksional," katanya.

Faktor lainnya, ideologi bukan lagi da­sar utama parpol dalam menentukan pilihan. "Ideologi parpol sekarang sudah sangat cair. Ideologi tidak lagi dijadikan acuan dasar," katanya.

Melihat perjalanan kandidat Pilbub Gresik, analisis Mas'ud itu, sepertinya, cukup berdasar. Apa yang diungkapkannya cukup beralasan.

Duet Husnul Khuluq-Musyaffa' Noer (Humas), misalnya, diwarnai lepasnya dukungan PKNU. Indikasinya, pengam­bilan formulir untuk duet Monash-Syamsul dilakukan sebagian pengurus PKNU. Wacana koalisi dengan PD akhirnya juga berantakan. PD yang sejak awal menjalin komunikasi dengan PKB akhirnya memilih mengusung calon sendiri.

Konflik juga muncul di internal PDIP. Puncaknya, Ketua PAC PDIP Kecamatan Gresik Thohirin bersama sebagian pengu­rus lain mundur dan mendukung kandidat di luar pasangan Bambang-Qonik (Bani).

Tim Sambari-M. Qosim (SQ) juga tak luput dari konflik. Beberapa pengurus Partai Golkar kabarnya membelot dan mendukung kandidat lain. Majunya Syamsul Maarif yang mendampingi Monash juga berpotensi memecah suara Golkar. Sebab, Syamsul adalah salah seorang kader senior partai berlambang pohon beringin itu.

Namun, duet Monash-Syamsul Maarif (MA) juga tak lepas dari tarik ulur dukungan. Terutama di kalangan parpol-parpol gurem. Beberapa parpol gurem sempat menjalin kesepakatan dengan kandidat lain sebelum akhirnya mendukung duet tersebut. Hanura, misalnya. Sejak awal partai itu mendukung duet Bani. Tapi, pada detik-detik terakhir, DPP Hanura merekomendasikan du­kungan untuk MA.

Read more...

Pengaruh Elit Parpol

Waspadai Pengaruh Elit Parpol Saat Muktamar NU



Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) menjadi incaran elit partai politik (parpol). Bahkan, elit tersebut akan bermain di Muktamar NU 2010 dalam menentukan kepemimpinan organisasi tersebut.

Politisi senior NU Taufikurrahman Saleh, di Jakarta, Selasa (23/2) mengaku melihat kecenderungan itu dan meminta semua pihak untuk mewaspadainya.

Menurut dia, tindakan elit parpol yang bermain di Muktamar NU tersebut sangat membahayakan keberadaan NU. Sebab selain membuat arena muktamar tidak sehat, tapi juga membuat NU tidak mandiri. Bukan tidak mungkin ada kepentingan politik elit parpol untuk memanfaatkan organisasi NU yang kini memiliki posisi strategis.

Terkait hal itu, Taufikurrahman mengimbau kepada pengurus wilayah (PW) dan pengurus cabang (PC) untuk mewaspadai elit parpol yang bermain di arena muktamar. Disamping itu, jangan sampai mudah dipengaruhi oleh kepentingan elit politik.

PWNU dan PCNU harus menguatkan imnunasinya. Jangan sampai NU ke depan dikendalikan oleh parpol, ujarnya. Sebagai lembaga yang memiliki posisi strategis, Menurut dia, posisi NU harus berada diatas parpol. Ini untuk menjaga kemandirian NU pada masa mendatang.

Jangan sampai parpol yang memainkan NU. Dalam situasi seperti ini, kriteria Ketum PBNU yang paling tepat adalah dia yang punya kemandirian dan tidak mudah diakali oleh pihak yang ingin mengobok-obok NU, jelasnya.

Dengan demikian, lanjut Taufikurrahman, NU akan menjadi kekuatan civil society yang bisa mengontrol partai dan kekuasaan di tengah demokrasi yang semu. Kalau memang NU ingin bersih dari kepentingan politik, maka ketua umum PBNU yang akan datang harus bersih dari pengaruh parpol. Jangan sampai NU diperalat oleh kepentingan jangka pendek elit partai yang sangat pragmatis, tegasnya.

Terhadap elit parpol, salah satu pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengimbau agar elit parpol sebaiknya memberikan data-data akurat tentang perkembangan perpolitikan di Indonesia,
Kemarin-kemarin datang ke kiai saja tidak pernah. Sekarang karena mau muktamar berusaha datang mempengaruhi kiai, katanya.

Read more...

SIDANG PARIPURNA DPR

Anggota Pansus Minta Voting Sidang Paripurna DPR Dilakukan Terbuka
Jelang Sidang Paripurna 3 Maret

JAKARTA - Proses penyelidikan Pansus Hak Angket Kasus Bank Century segera mencapai klimaks. Sidang paripurna DPR pada 3 Maret mendatang akan menentukan sikap final parlemen. DPR harus memutuskan apakah dalam penyelamatan Bank Century itu ada indikasi pelanggaran pidana atau tidak.

Sejauh ini, potensi terjadinya voting sangat besar. Banyak kalangan yang pesimistis, perbedaan yang tecermin dalam pandangan akhir fraksi tersebut bisa dipertemukan melalui musyawarah untuk mufakat. Terkait dengan perkembangan ini, sejumlah anggota pansus mendorong agar voting pada sidang paripurna DPR nanti dilakukan secara terbuka.

''Harus terbuka agar tidak ada praktik dagang kerbau,'' kata Bambang Soesatyo dari Fraksi Partai Golkar (FPG) di Jakarta kemarin (26/2). Menurut dia, bila sampai voting tertutup, potensi terjadinya permainan dan adanya deal-deal politik semakin besar. ''Makanya, kami nggak mau kalau sampai diupayakan tertutup,'' tegasnya.

Bambang menambahkan, dalam tatib DPR, voting tertutup hanya diharuskan dalam proses pemilihan orang. Misalnya, dalam pemilihan anggota lembaga atau komisi tertentu yang di-fit and proper test oleh DPR. ''Kalau ini (kasus Bank Century, Red) soal kebijakan, diputuskan ada pelanggaran atau tidak ada pelanggaran. Jadi, harus terbuka,'' tandasnya.

Mukhamad Misbakhun dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) juga mendesak agar voting dilakukan secara terbuka. Dengan begitu, masyarakat akan mengetahui siapa yang mendukung dibukanya kasus Century dengan sepenuh hati dan siapa yang hanya berpura-pura. ''Semua proses pemeriksaan di pansus sudah terbuka. Jadi, kalau ada voting di paripurna nanti, biar rakyat tahu, siapa fraksi-fraksi yang tidak mendukung. Rakyat akan menjadi hakim yang terbaik,'' tuturnya.

Misbakhun mengungkapkan bahwa ada upaya yang mendorong agar voting dilakukan secara tertutup. Dia menyatakan sangat khawatir kalau sampai disepakati (voting tertutup), akan terjadi deal-deal politik yang mengingkari kebenaran. ''Jadi, ini harus benar-benar dikritisi,'' tegasnya.

Wakil Ketua Pansus Century Mahfudz Siddiq mengatakan, pansus masih berupaya maksimal untuk menghasilkan rumusan yang disepakati bersama sehingga voting di paripurna bisa dihindari. ''Masih ada waktu sampai last minute. Masing-masing fraksi terus berkomunikasi untuk mencapai rumusan bersama itu,'' bebernya.

Mahfudz menegaskan, rumusan bersama tersebut bukan berupa kompromi di tataran substansi. Sebab, secara substansi, tidak mungkin ada perubahan. Titik temu tersebut, menurut ketua DPP PKS itu, lebih pada tataran rumusan teknis redaksional. Dia lantas mencontohkan, mayoritas fraksi menyebut ada indikasi pelanggaran dalam proses pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penyertaan modal sementara (PMS). Hanya Fraksi Partai Demokrat (FPD) dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang secara tegas menolak.

Dari sini, ungkap Mahfudz, bisa saja dibuat kesimpulan pansus memang menemukan terjadinya indikasi pelanggaran pidana. Tetapi, beberapa fraksi yang berbeda pendapat dipersilakan mengajukan minderheits nota (nota keberatan) sebagai bagian tak terpisahkan dari keputusan paripurna. ''Saya kira, secara teknis ini bisa menjadi rumusan bersama tanpa mengurangi substansi. Yang jelas, tidak perlu voting,'' ujar Mahfudz. Bila voting tetap tak terhindarkan -baik karena pansus gagal membuat rumusan bersama maupun mufakat tidak tercapai di paripurna- Mahfudz mendukung voting terbuka.

Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga men­du­kung voting dilakukan secara terbuka. Dia beralasan, dengan vo­ting terbuka, prosesnya lebih jelas dan transparan. "Tapi, ka­lau ada yang mau tertutup, juga tidak ada masalah," ujar mantan ke­tua umum PB HMI tersebut.

Read more...

FUNGSI KEPEMIMPINAN NU

NU; Harapan dan Kenyataan
Oleh: . KH Agoes Ali Masyhuri

MENJELANG Muktamar Ke-32 Nahdlatul Ulama di Makassar bulan depan, muncul kembali kegairahan dan se­mangat baru untuk menata NU, bukan sekadar besar dalam jumlah, tapi juga mampu besar dalam peran. Kerinduan terhadap makna besar dalam peran itu di­wujudkan dengan cara yang bermacam-macam. Di antaranya, menyoroti kiner­ja yang dilakukan Pengurus Besar Nah­dlatul Ulama selama ini.

Penguatan syuriyah dan manajemen organisasi menjadi topik menarik dalam berbagai kesempatan. Warga NU mengharapkan syuriyah lebih berperan daripada tanfidziyah, terutama mampu bekerja secara sinergis dengan tanfidiyah. Bukan berangkat sendiri-sendiri yang bisa melahirkan tumpang tindihnya tugas dan wewenang.

Saya berharap, siapa pun yang terpilih menjadi rais aam dan ketua umum PB NU yang akan datang harus memahami betul apa saja tugas dan wewenang dalam organisasi Nahdlatul Ulama. De­ngan demikian, terbukalah ruang yang luas lahirnya gagasan-gagasan baru yang segar untuk menata NU sebagai organi­sasi sosial keagamaan untuk lebih berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Dulu NU disegani oleh berbagai kalangan, masyarakat merasa memiliki NU karena NU banyak berbuat untuk masyarakat. Kondisi itu sangat beda dengan sekarang. NU kini sering diter­pa berbagai tantangan dari berbagai sektor kehidupan, baik politik, sosial, maupun ekonomi, yang tidak pernah padam.

Kesadaran akan adanya tantangan itulah merupakan langkah awal sebagai cambuk agar NU bangkit. Perlu disadari bahwa tantangan dan lawan yang harus dihadapi warga NU bukan saja yang datang dari luar, tetapi juga dari diri sendiri.

Ketika saya mengikuti silaturahmi kiai se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Salafiyah, Pasuruan, Jawa Timur, bebera­pa hari lalu, ada seorang kiai yang berpenampilan sederhana berkata kepada ha­dirin, ''Jangan mencari jabatan di NU se­perti orang-orang sekarang ini. Teladanilah KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri, KH As'ad Syamsul Arifin, KH Mahrus Ali. Mereka rata-rata bersikap arif dan bijak dalam keadaan apa pun. Mereka memancarkan akhlak yang terpuji, bersikap tawadhu', dan mementingkan kepentingkan organi­sasi daripada kepentingan diri sendiri.''

Tegasnya, seorang ulama, kiai, adalah penerus risalah Nabi. Dia harus senantiasa memancarkan cahaya kearifan bagi orang-orang di sekitarnya, meskipun dalam perjalanan perjuangannya mengalami berbagai tantangan dan rintangan, sebagaimana yang dialami para Rasul, Nabi, sahabat, dan orang-orang saleh.

Seorang ulama, kiai, adalah mereka yang sangat istikamah menebarkan rahmat di tengah-tengah masyarakat, membimbing, melayani, serta mengarahkan umat agar tetap di jalan Allah. Mereka memahami betul peran hidupnya sehingga tidak mudah terbawa arus dan kondisi yang semakin semrawut di tengah ketidakpastian yang sedang melanda bangsa ini.

Saat ini banyak orang pandai berbicara tentang kebaikan, tapi tidak mampu melaksanakan. Maka, seorang kiai harus benar-benar mampu tampil sebagai kekuatan penyangga, pengayom, sekaligus sebagai pembimbing umat. Bagi mereka, kepuasan tak terhingga bila ia dapat mendidik meskipun hanya kepada seorang. Mereka tidak menghitung berapa jumlah pengikutnya.

Sebagaimana para Rasul dan Nabi, dia tidak mengharapkan upah dan penghargaan apa pun kecuali dari Allah. Kei­khla­san senantiasa hadir dalam perjalanan per­juangannya sehingga punya magnet dan daya tarik tersendiri bagi umat untuk mengikuti dan menaati mereka sebagai figur panutan. Saya ingat apa yang dikatakan Ibrahim al-Khawwas, seorang wali besar pada zamanya yang artinya, ''Bukanlah dikatakan seorang alim karena banyaknya riwayat. Orang alim adalah pengikut pengetahuan dan mengamalkan pengetahuan itu, selain mengikuti jejak sunah-sunah walaupun ilmunya sedikit.''

Fungsi Kepemimpinan

Berangkat dari pokok pikiran di atas, siapa pun yang terpilih sebagai rais aam dan ketua umum PB NU yang akan datang dalam muktamar harus mempunyai empat fungsi kepemimpinan sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Pertama, sebagai perintis. Seorang pe­mim­pin harus memahami dan memenuhi kebutuhan organisasi atau umat, misi, dan nilai-nilai yang dianut. Jika pada NU, tentunya misi keumatan dan ajaran Islam ahlusunah waljamaah. Pemimpin harus telaten, ulet, dan tahan banting dalam menghadapi situasi dan kondisi apa pun.

Kedua, fungsi penyelaras. Berkaitan dengan bagaimana pemimpin menyelaraskan keseluruhan sistem organi­sasi agar mampu bekerja saling sinergis, antara banom, lajnah, dan perangkat organisasi yang lain. Hal itu harus dioptimpalkan demi terwujudnya tatanan organisasi agar berjalan pada sistem dan rel yang digariskan pada muktamar nanti.

Ketiga, fungsi pemberdayaan. Mampu menumbuhkan agar warga NU da­­lam berorganisasi bisa melakukan yang terbaik, punya komitmen dan dedikasi yang kuat serta jelas.

Keempat, fungsi panutan. Seorang pe­mimpin harus dapat menjadi panutan bagi para pengikutnya, harus mampu tampil menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan. Bertanggung jawab atas tutur kata, sikap, perilaku, dan keputusan-keputusan yang diambilnya. Saat ini, sedikit sekali tokoh yang patut dite­ladani. Akibatnya, hilangnya rasa malu sebagian anggota masyarakat, terempasnya norma hukum yang melahirkan frustrasi sosial, dan yang lebih menye­dih­kan hampir tidak ada nilai-nilai penghalang orang melakukan saling fitnah. Di sini, peran NU sangat dinan­ti oleh umat untuk mampu memberikan pencerahan pada saat masyarakat dilanda krisis keteladanan. (*)

*). KH Agoes Ali Masyhuri, pengasuh Pondok Pesantren Bumi Shalawat, Tulangan, Sidoarjo

Read more...

About This Blog

Lorem Ipsum


Got My Cursor @ 123Cursors.com

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP